Oleh: Naufal Ahmad Afifi
Pagi itu, di lereng Gunung Latimojong, Sulawesi Selatan, kabut turun pelan menyelimuti atap seng sekolah dasar yang baru selesai direhabilitasi. Di halaman sekolah, anak-anak berbaris rapi, menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan lantang.
Seorang guru perempuan berdiri di samping tiang bendera, menggenggam tablet digital yang baru saja dikirim oleh dinas pendidikan kabupaten. Setelah upacara, ia membuka pelajaran IPA lewat tayangan video interaktif yang tersambung ke jaringan satelit.
Anak-anak tersenyum, kagum melihat bagaimana gunung api bisa “bernapas” di layar kecil di depan mereka. Inilah wajah baru pendidikan Indonesia—sebuah kisah yang lahir dari upaya memulihkan bukan hanya bangunan, tetapi juga martabat ruang belajar.
Dalam satu tahun terakhir, dari Oktober 2024 hingga Oktober 2025, geliat perubahan terasa nyata di ribuan sekolah, dari Sabang sampai Merauke. Transformasi yang digerakkan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) ini bukan sekadar proyek pembangunan, melainkan pergeseran nilai: dari sekadar “sekolah berdiri” menjadi “pendidikan yang menghidupi.”
Langkah awal dari perubahan itu adalah memperbaiki akar. Melalui Program Revitalisasi Satuan Pendidikan, pemerintah mengalokasikan Rp16,97 triliun untuk memperbaiki sarana dan prasarana di seluruh jenjang, mulai dari PAUD hingga SMA/SMK dan SLB.
Dari target 10.440 satuan pendidikan, realisasinya bahkan menembus 15.523 sekolah—capaian yang menandai komitmen besar pada pemerataan.
Namun revitalisasi kali ini tidak berhenti pada pembangunan ruang kelas. Di banyak daerah, semangat gotong royong tumbuh kembali. Di Kudus, masyarakat ikut menyiapkan material dan membantu pembangunan toilet ramah disabilitas di SMPN 1 Bae. Di Flores, warga menanam pohon di halaman sekolah baru mereka.
Dalam kunjungannya, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti menegaskan bahwa revitalisasi adalah bentuk pemulihan martabat.
“Sekolah tidak boleh hanya kuat secara fisik, tapi juga menjadi ruang yang menumbuhkan kepercayaan diri anak-anak,” ujarnya saat meninjau proyek pada 7 Oktober 2025.
Selain memperbaiki sarana, program ini juga menggerakkan ekonomi lokal. Pekerja direkrut dari masyarakat sekitar, bahan bangunan dibeli dari pengrajin desa, dan warung kecil di sekitar lokasi pembangunan kembali hidup. Ketika pembangunan selesai, manfaatnya tak hanya terasa di ruang kelas, tapi juga di dapur warga.
Kini, sekolah bukan lagi sekadar milik pemerintah, tetapi milik komunitas.
Revitalisasi menjadikan pendidikan bukan proyek pembangunan, melainkan gerakan sosial yang menyatukan banyak tangan. Dan di situlah, wajah sejati pendidikan Indonesia mulai pulih.
Digitalisasi: Jembatan Kesetaraan Baru
Transformasi besar berikutnya datang melalui Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2025 tentang Digitalisasi Pendidikan Nasional — tonggak penting yang membuka gerbang kesetaraan akses pembelajaran di seluruh negeri.
Lewat kebijakan ini, lebih dari 285.000 sekolah, dari PAUD hingga Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), kini terhubung ke sistem pembelajaran digital. Fasilitas seperti smart classroom, jaringan internet sekolah, dan konten interaktif kini tidak lagi menjadi hak istimewa bagi sekolah perkotaan.
Di Papua, siaran televisi pendidikan menjadi jendela ilmu bagi anak-anak kampung pegunungan. Di Kalimantan Utara, radio komunitas setempat menyiarkan mata pelajaran setiap sore. Sementara di Sulawesi Tengah, siswa belajar menggunakan tablet digital yang berisi modul Kurikulum Merdeka.
Sejalan dengan digitalisasi, pemerintah juga memperkenalkan Tes Kompetensi Akademik (TKA) sebagai instrumen standar mutu nasional. Walau masih bersifat sukarela, 87,6% orang tua murid menilai TKA penting diterapkan, dan 9 dari 10 responden mendukungnya sebagai bagian dari proses seleksi ke jenjang pendidikan berikutnya (Katadata Insight Center, 2025).
Namun, hasil survei yang sama mengungkapkan ruang pekerjaan rumah: baru 46,2% orang tua memahami bahwa TKA tidak wajib diikuti semua siswa, dan hanya 21,6% yang tahu bahwa TKA bukan pengganti Ujian Nasional.
Fakta ini menunjukkan bahwa kebijakan yang baik memerlukan komunikasi publik yang kuat dan berkelanjutan, agar tidak sekadar hadir di atas kertas.
Menurut Satria Triputra Wisnumurti, Research & Analytics Manager Katadata Insight Center (KIC), TKA diterima positif karena dianggap “memberikan ukuran yang objektif, bukan sekadar menguji hafalan.”
Para guru dan pengamat pendidikan pun sependapat: standar nasional semacam ini penting, asalkan dirancang dengan bijak agar tetap mengukur kemampuan berpikir kritis, bukan hanya daya ingat.
Ke depan, pemerintah berencana memperluas penerapan TKA hingga jenjang SD dan SMP, dengan melibatkan dinas pendidikan daerah dalam penyusunan soal. Pendekatan ini diharapkan bukan hanya menjaga mutu nasional, tapi juga mengangkat nilai-nilai dan konteks lokal, menjadikan setiap wilayah bagian dari kekayaan sistem pendidikan Indonesia yang beragam dan adil.
Guru dan Murid Berdaya: Menanam Ilmu, Menuai Harapan
Di balik setiap perubahan besar pendidikan, selalu ada sosok yang berdiri di depan kelas — guru. Mereka bukan hanya pengajar kurikulum, tetapi penjaga api pengetahuan dan karakter bangsa.
Pemerintah menyadari, tanpa kesejahteraan guru, semua program hanyalah rencana di atas kertas.
Karena itu, peningkatan kapasitas dan kesejahteraan tenaga pendidik menjadi prioritas utama dalam setahun terakhir.
Melalui alokasi Rp13,2 triliun, berbagai kebijakan dijalankan untuk memastikan guru bisa tumbuh bersama sistem yang mereka bangun.
Sebanyak 785 ribu guru non-ASN kini menerima tunjangan profesi Rp2 juta per bulan, sementara 253 ribu guru PAUD nonformal memperoleh Bantuan Subsidi Upah (BSU) sebesar Rp300 ribu.
Tak hanya itu, 804 ribu guru mengikuti Program Profesi Guru (PPG) sebagai bagian dari peningkatan profesionalisme, dan 16.197 guru mendapatkan fasilitasi kuliah lanjutan S1/D4 agar kualitas akademik mereka setara dengan tuntutan zaman.
Discussion about this post