Oleh: Sutrisno Pangaribuan
Sejak pemilihan presiden (pilpres) digelar secara langsung (2004), hanya Megawati Soekarnoputri (Mega) satu-satunya perempuan di Indonesia yang berani dan pernah maju sebagai calon presiden (capres). Belum ada perempuan yang diberi kesempatan seperti Mega. Namun realitas politik tersebut sama sekali tidak masuk dalam kegelisahan perempuan dan aktivis “pro perempuan”.
Seperti yang saat ini sedang diributkan atau “diperjuangkan” oleh sejumlah aktivis perempuan Indonesia. Aktivis perempuan berteriak karena minimnya jumlah perempuan yang terpilih sebagai penyelenggara Pemilu.
Para elit politik amatir, yang saat ini selalu mengklaim “mewakili” generasi millenial hingga generasi Z, pun lebih tertarik mengajukan judicial review terkait batas usia minimum capres/cawapres di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) dibanding memperjuangkan keterwakilan perempuan dalam pasangan capres/cawapres. Mereka berjuang demi mengakomodasi kepentingan “anak ingusan” berharap diberi imbalan remah- remah kekuasaan.
Perempuan Penentu Kemenangan
Berdasarkan data KPU RI, jumlah total pemilih nasional dalam dan luar negeri dengan 514 kabupaten/kota, 128 negara perwakilan, 7.277 kecamatan, 83.731 desa/kelurahan, 823.220 TPS/TPSLN, KSK, Pos adalah 204.807.222 pemilih dengan rincian 102.218.503 pemilih laki- laki, dan 102.588.719 pemilih perempuan. Maka pasangan calon (paslon) yang didukung oleh perempuan pasti akan menang satu (1) putaran.
Perempuan Indonesia dalam pemilu 2024 memiliki kekuatan 50,09% suara yang sangat menentukan. Maka pengumuman resmi Ganjar Pranowo (Ganjar) sebagai bacapres PDIP bertepatan di tanggal lahir Raden Ajeng Kartini, yang diperingati sebagai hari emansipasi perempuan sebagai isyarat sikap dan keberpihakan PDIP terhadap perempuan.
PDIP satu-satunya parpol yang dipimpin oleh perempuan, maka PDIP menyadari dan meyakini bahwa dalam pilpres langsung kelima pasca reformasi, perempuan harus tampil dan ikut dalam kontestasi pemilihan pemimpin nasional.
Discussion about this post