Jadi, waktu dia tiba-tiba bilang kedinginan, jemaah agak terkejut dan terasa lucu.
Ihwal ada unsur humor dalam kotbah di masjid, hamba ingat saat masih kuliah di Fakultas Hukum UI di Rawamangun. Sekarang kampusnya sudah dipakai oleh UNJ. Waktu itu kalo salat Jumat, para mahasiswa salat di masjid dekat asrama Daksinapati itu.
Di masjid itu para penceramah salat jumat kalau sedang kotbah sangat sering menemukan materinya dengan humor. Ini dilakukan untuk mengritik pemerintah Orde Baru waktu itu.
Rezim di bawah pimpinan Pak Harto pemerintahnya sangat represif. Untuk mengkritiknya harus berhati-hati, termasuk di lembaga keagamaan. Humor menjadi salah satu sarana untuk dapat masuk mengritik pemerintah. Kalau tidak lewat cara humor, lelucon atau tawa mungkin para khotib waktu itu sudah masuk black list atau daftar hitam pemerintah.
Konsekuensinya bisa dihukum atau bahkan “dihilangkan.” Tetapi melalui humor mereka tidak dianggap menghina pemerintah, tapi pesan agamanya tetap tersampaikan.
Secara teoritis humor tidak sekedar menghasilkan tawa belaka. Humor atau lelucon berdasarkan teori-teori psikologi dinilai sebagai fenomena sosial. Dalam hal ini, tawa membawa pesan, menyampaikan misi. Di balik tawa, ada sesuatu yang ingin disampaikan dan dapat sampai pada taraf untuk mempengaruhi. Dengan begitu humor tidak sekedar menghasilkan tawa.
Dalam bukunya “Sense of Humor and Dimention of Personlity,” Lefcourt dan Martin (Washington: 1993) sudah menegaskan, tertawa tidak selalu dipicu rasa lucu. Sebaliknya tragedi dapat menghasilkan senyum dan tawa.
Rasa lucu, kata psikolog Elizabeth E. Hurlock, dapat mengubah persepsi kita mengenai sesuatu hal. Sedangkan menurut John Sorey dalam bukunya “Cultural Studies and The Stydt of Populer Culture: Theoriea and Method,” jelas ada makna di balik kelucuan.
Lebih jauh lagi, Arthur Koestler setelah melalukan penelitian panjang, dalam bukunya “The Art of Creation” yang terbit tahun 1989 menyimpulkan, lelucon adalah proses intelektual. Maka kehadiran humor pastilah memiliki alasan yang kuat. Sementara bagi Arthur Koestler humor bukan untuk merendahkan manusia, tetapi sebaliknya untuk mengangkat harkat martabat manusia.
Para penceramah atau khotib mungkin tidak membaca teori-teori humor atau lelucon yang berasal dari barat tersebut, namun beberapa dari mereka telah menerapkannya secara interaktif.
Lewat humor atau lelucon yang mereka selipkan di antara ceramah atau kotbah mereka, merupakan bagian dari dakwah untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan para pendengarnya. Di balik tawa mereka memberikan pesan dan misinya untuk menyakinkan, Allah Maha Kuasa. T a b i k!
(Bersambung…..)
Penulis adalah wartawan dan advokat senior serta Dewan Pakar Pengurus Pusat Muhammadiyah
(Tulisan ini merupakan reportase/opini pribadi)
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post