Lantas akhirnya dia “menembak” dengan “klimaks.” Si Penceramah menuturkan, Allah sudah mengatur semuanya dengan baik.
“Dia menciptakan ASI buat para bayi. Dari kecil orang udah dikasih rejeki masing-masing. Apa gak hebat tuh? Hebatnya lagi, susu manusia cuma dua, dan letaknya udah diatur di sana. Coba bagaimana kalo kayak kucing atau anjing. Susunya banyak, berlerot dari atas ampe bawah,? Gimana kalo manusia seperti itu? Susunya lebih dari dua dan letaknya dimana-mana,” ujarnya.
Anggota majalis jemaah subuh di masjid ada yang tertawa dan ada yang cuma senyum-senyum saja. Relevansinya penceramah ingin memberitahu Allah dengan segala kekuasaanNYA telah membentuk manusia menjadi mahluk terbaik.
“Masuk barang” itu. Maksudnya, dengan cara humor seperti ini memungkinkan jemaah salat subuh di masjid menjadi lebih mudah mencernanya, di samping menjadi tidak mengantuk.
Penceramah lain berbeda pula. Manakala sedang serius-seriusnya membahas suatu topik, tetapi dengan tiba-tiba dia berujar, ”Waduh, kok dingin bener disini!” Rupanya dari tadi dia sudah sangat kedinginan.
Salah satu AC di masjid tempat kami salat subuh memang terpasang di dinding di belakang mimbar atau dengan kata lain, letaknya tepat di belakang penceramah. Rupanya dia kedinginan, tapi tak ada yang mengetahuinya.
Jadi, waktu dia tiba-tiba bilang kedinginan, jemaah agak terkejut dan terasa lucu.
Ihwal ada unsur humor dalam kotbah di masjid, hamba ingat saat masih kuliah di Fakultas Hukum UI di Rawamangun. Sekarang kampusnya sudah dipakai oleh UNJ. Waktu itu kalo salat Jumat, para mahasiswa salat di masjid dekat asrama Daksinapati itu.
Di masjid itu para penceramah salat jumat kalau sedang kotbah sangat sering menemukan materinya dengan humor. Ini dilakukan untuk mengritik pemerintah Orde Baru waktu itu.
Rezim di bawah pimpinan Pak Harto pemerintahnya sangat represif. Untuk mengkritiknya harus berhati-hati, termasuk di lembaga keagamaan. Humor menjadi salah satu sarana untuk dapat masuk mengritik pemerintah. Kalau tidak lewat cara humor, lelucon atau tawa mungkin para khotib waktu itu sudah masuk black list atau daftar hitam pemerintah.
Konsekuensinya bisa dihukum atau bahkan “dihilangkan.” Tetapi melalui humor mereka tidak dianggap menghina pemerintah, tapi pesan agamanya tetap tersampaikan.
Discussion about this post