Buat yang biasa memakai qunut pun masih terbagi dua. Ada yang biasa memakai bacaan qunut pendek, lima kalimat, namun ada juga yang memakai bacaan qunut panjang.
Umumnya apabila yang biasa menerapkan bacaan qunut pendek, kalau kebetulan berada di masjid yang menerapkan qunut dengan bacaan panjang, mereka ikut dalam jemaah dengan bacaan qunut panjang. Sebaliknya juga begitu. Mereka yang biasa melakukan qunut panjang, salat di masjid yang memakai qunut pendek, juga ikut saja.
Disini salat subuh sudah mengajarkan kita untuk belajar memahami adanya perbedaaan dan toleransi terhadap adanya perbedaan itu. Sejak salat subuh kita sudah dididik perbedaan merupakan sesuatu yang wajar. Sesuatu yang biasa saja. Kita pun diajarkan untuk toleransi terhadap perbedaan itu. Bukan menjadikan sumber permusuhan.
Selain soal qunut, dari pengalaman saya, masih ada perbedaan-perbedaan lain dalam salat subuh. Ada yang setelah salat subuh lantas zikir, dilanjutkan dengan membaca doa bersama. Zikir dan doa bersama dipimpin iman dan jemaat tinggal “mengaminkan” saja. Barulah sehabis doa bersama salat subuh selesai.
Tak semua jemaah sepaham setelah zikir ada doa bersama. Sebagian jemaah berpandangan, sesudah salat wajib tak ada lagi kewajiban melafalkan doa bersama. Jadi, mereka tidak ikut doa bersama. Mereka dapat langsung pulang, atau mereka masing-masing melanjutkan doa sendiri-sendiri saja.
Selesai salat pun masih tetap ada perbedaan. Sebagian jemaah selesai salat saling bersalaman dengan satu dua atau tiga jemaah di sisi kanan kirinya. Sebagian besar jemaah memandang “tradisi” salaman ini bagian dari silaturahmi dan merupakan hubungan antara manusia.
Kendati begitu, jangan kaget, ketika kita mengulurkan tangan untuk bersalaman, ada jemaah yang tidak berkenan alias menolak bersalaman. Kalau pun mereka mau juga bersalaman, lebih karena keterpaksaan saja. Bagi mereka tidak ada ketentuannya setelah salat harus bersalaman. Jadi usai salat mereka menganggap tidak perlu ada proses bersalam-salaman.
Sepanjang pengamatan saya, perbedaan-perbedaan dalam pelaksanaan salat subuh dan segera setelahnya, dipandang sebagai perbedaan biasa yang masih dalam batas-batas ruang lingkup ajaran agama. Bukan sesuatu yang aneh. Bukan sesuatu yang sesat. Oleh lantaran itu kaum jemaah salat subuh saling memahami, menghormati dan bertoleransi. Hubungan sosialnya pun tetap harmonis.
Dalam hal ini tidak ada yang merasa lebih hebat dari yang lain. Tidak ada yang saling menuding dan menyalah-nyalahkan. Apalagi sampai mengkafir-kafirkan satu dengan lain.
Di luar niat kita salat subuh sebagai pelaksana bakti kita kepada Sang Yang Maha Esa Tuhan Semesta Alam, salat subuh rupanya juga memberikan pembelajaran mengenai perlunya menerapkan esensi demokrasi.
Discussion about this post