Oleh: Wina Armada Sukardi
Dari Segelas Air Hangat Buat Istri Sampai Menulis di HP
Jika sobat juga sering salat subuh berjemaah di masjid, sesaat setelah pulang kembali ke rumah, apa yang dikerjakan? Tentu, setiap orang memiliki kebiasaan berbeda-beda. Hamba juga punya kebiasaan sendiri.
Sepulang dari masjid, pastinya yang pertama hamba lakukan berganti baju. Sejak dan setelah pandemi Covid-19, sepulang dari masjid hamba selalu cuci muka dan rambut, serta kaki dan tangan. Mempergunakan pembersih muka, sampo dan sabun.
Setelah itu, hamba minum segelas penuh air putih hangat. Hamba baru akan mengisi perut sekurang-kurangnya satu jam setelah minum air putih ini. Sebelum diminum, air putih ini lebih dahulu hamba doakan.
Intinya hamba mohon kepada Allah minuman ini bermanfaat bagi kesehatan jasmani dan rohani buat hamba. Setelah doa rampung, hamba bacakan Al Fatihah di depan gelas itu, sebanyak tujuh kali, diakhiri dengan meniup ke air di gelas sebanyak tiga. “Ilmu” ini hamba peroleh dari seorang ustaz yang kini sudah meninggal dunia.
Kamar utama tempat hamba dan istri tidur terletak di lantai dua. Sedangkan tempat dispenser air di bawah. Hampir setiap hari, sesudah hamba minun untuk diri sendiri, hamba kembali menuangkan lagi segelas air hangat, dan hamba bawa ke atas. Kali ini untuk istri hamba.
Biasanya istri yang salat subuh di rumah, sudah tidak tidur lagi. Dia menerima segelas putih air hangat dari suaminya dengan suka cita.
“Ritual” ini berhenti jika kami tidur di kamar bawah bersama para cucu. Istri akan mengambil air sendiri. Demikian pula selama bulan puasa ritual ini sementara stop.
Dulu, waktu hamba masih sekitar SMPan, dan tinggal di Jalan Cilosari, Cikini, hampir tak ada tradisi di lingkungan kami, salat subuh di masjid. Letak masjid berjauhan dari rumah, dan memang tak ada tradisi itu, termasuk pada bulan puasa.
Kendati begitu, hamba tetap bangun subuh. Terus terang saat itu, hamba kadang salat subuh, tetapi lebih banyak lagi tidak salat subuhnya. Tegasnya salat subuh cuma kadang-kadang saja. Selebihnya tak salat subuh.
Salat tidak salat subuh, saat itu hamba malah hampir selalu lari pagi di jalan. Waktu Jakarta belum seramai kiwari (saat ini). Larinya menggunakan pakaian karate. Tanpa alas sepatu.
Rute lari hamba dari Cikini masuk Jalan Sultan Syahrir terus sampai ke bundaran HI, dan kembali lagi lewat Jalan Muhamad Yamin. Hamba ingat rute itu melewati rumah Hugeng, mantan Kapolri yang legendaris. Juga melewati kantor redaksi majalah anak-anak “Si Kuncung.”
Di kali yang memisahkan Jalan Sultan Syahrir (dahulu namanya Jalan Grisik) dan Muhammad Yamin, saat itu masih dapat dijumpai orang mandi di kali!. Biasanya juga ada air memanjang di beberapa jalan. Itu “tetesan” atau rembesan dari truck yang membawa block-block es batu.
Ya, pada zaman itu orang masih menjual dan membeli es batu. Pabrik es batu memasok blok-blok es ke depo es memakai truck. Nanti pembeli datang membeli ke depo itu.
Arah pulang lari, biasanya hamba berhenti sebentar untuk membeli roti, dari gerobak dorong yang dulu masih marak. Cuma dua merek roti yang biasanya hamba dan keluarga beli, juga buat sebagian yang tinggal di daerah Menteng: kalau tidak Lauw, ya Tak Ek Tjoan.
Itulah merek dua roti yang sangat beken dan legendaris saat itu dan rasanya masih lezat dan khas. Sekarang kedua merek roti itu, masih ada, namun rasanya sudah beda. Dan kenikmatannya sudah kalah dengan bakery-bakery modern.
Discussion about this post