Hamba pun memutuskan: berikanlah kesempatan kepada hamba Allah lainnya yang ingin pergi menunaikan kewajiban naik haji. Sedangkan hamba ini yang sudah diberikan kemudahan naik haji harus tahu diri. Tidak boleh serakah. Saya harus memberikan kesempatan itu kepada orang-orang lainnya untuk dapat naik haji.
Walau demikian, hal itu tidak berarti hasrat datang lagi ke kabah berhenti. Tetap ada dorongan untuk kembali ke Mekah. Ke kabah. Dan saya memang melaksanakan kembali datang kesana, namun bukan pada waktu haji, melainkan umrah. Berbagai macam umrah, alhamdullilah, pernah saya nikmati. Umrah Ramadan. Umrah Idhul Fitri. Umrah hari biasa dan lain-lain.
Nah, dalam gradasi yang berbeda, juga terjadi pada salat subuh di masjid. Jika kita rutin salat subuh di masjid, ketika meninggalkannya, dengan berbagai alasan, ada kerinduan dalam hati yang memanggil-manggil untuk segera merasakan nikmatnya salat subuh di masjid.
Kenapa ada kerinduan ingin selalu salat subuh di masjid bagi yang rutin melakukannya? Pertama-pertama tentu lantaran kita merasa bertanggung jawab pada diri sendiri buat menunaikan perintah Allah.
Berikutnya “nuansa” salat subuh di masjid, dari mulai keluar rumah, saat masuk masjid, aura religius sudah terasa. “Ritual” salat subuh di masjid: azannya, salat antara azan dan salat subuhnya, suasana dalam masjid serta yang tak kalah menarik nuansa religius “mistik”, menjadi sesuatu yang menarik-narik kita untuk salat subuh di masjid.
Ada dorongan “spritualitas” atau religi untuk terus kesana. Ada juga semacam “nuansa” aneh yang selalu juga menarik-narik kita untuk terus salat subuh di masjid.
Hamba ini sebagai mahluk Allah yang lemah, pernah operasi tiga kali. Sekali operasi pengangkatan empedu dan dua kali operasi penyambungan tendon achiles atau otot kaki besar yang putus. Mula-mula yang kiri. Lantas dioperasi. Ototnya disambung. Sembilan bulan kemudian sudah sembuh “sempurna,” main bulutangkis lagi, dan lantas berikutnya tendon achiles kaki yang kanan ikut-ikutan putus. Dua-duanya lantaran main bulutangkis pada tingkat RT dan RW. Walhasil saya harus dioperasi dua kali.
Beberapa saat paska operasi hamba tidak dapat beraktivitas. Harus beristirahat, bahkan lebih banyak di kamar. Tentu saja tak mungkin ke masjid. Salat di kamar saja. Mula-mula malah sambil tiduran, kemudian sambil duduk dan terakhir berdiri seperti patung karena belum boleh ruku dan sujud. Setelah boleh ruku dan sujud pun masih tak bisa kemana-mana, alias di rumah aja, termasuk tak dapat ke masjid.
Waktu itu hati hamba ini terasa hampa. Hambar. Ada sesuatu yang kosong. Rupanya pada saat-saat seperti itu kerinduan pada salat subuh di masjid menjadi menggunung. Apalagi saat usia merabat memasuki klasifikasi “warga senior” rindu salat subuh di masjid semakin menjadi-jadi.
Dibanding salat lainnya, salat subuh menjadi awal kegiatan kita pada hari itu. Salat subuh di masjid seperti diri kita melaporkan kepada Sang Pencipta sekaligus mohon perlindungannya sebelum kita melakukan aktivitas lainnya pada hari ini. Semacam apel kepada Allah.
Discussion about this post