<strong>Oleh: Wina Armada Sukardi</strong> <strong>Langsung Melayat</strong> Dalam dua alinea terakhir puisi karya hamba berjudul “Matiku Matmu,” yang hamba buat November 2017, dan telah diterbitkan sebagai salah satu puisi di buku karya tunggal hamba, “Mata Burung Gagak Gitaris Rock,” tertulis: <em>Mengapa kau masih meminta hidup seribu tahun lagi</em> <em>walau kau tahu wafat tua atau muda tak beda.</em> Kapan urusan nyawa kita dipanggil oleh Pencipta sekaligus Pemiliknya, tak ada yang tahu tepat. Kita tidak faham kapan bakal mengembuskan napas terakhir, dimana dan sedang apa. Usia bukanlah isyarat kematian. Tua belum tentu lebih cepat meninggal. Sebaliknya, muda bukanlah jaminan bakal hidup panjang. Banyak yang masih anak, belia, atau muda sudah meninggal. Sebaliknya tak sedikit yang sudah sepuh dan sakit-sakitan pula, tetapi masih terus hidup. Setiap saat, tua atau muda, dapat berpisah dengan dunia fana, dengan berjuta alasan. Kapan kita meninggal tetap menjadi misteri. Sama dengan dimana dan dalam keadaan bagaimana kita meninggal, tak dapat ditebak. Bisa saja kita meninggal secara di luar dugaan kita. Maka sesungguhnya salat subuh di masjid bukanlah hanya untuk orang tua saja. Selama ini, dalam pengamatan hamba ini, umumnya jemaah salat di masjid orang-orang “yang sudah meninggalkan dunia hitam,” alias rambut, kumis atau jenggot sudah tidak hitam lagi. Hampir semuanya sudah memutih alias sudah sempuh. Para jemaah yang rutin salat di masjid itu, dalam taksiran saya 80% memang para orang tua. Selebihnya baru yang lebih muda dan anak muda. Biasanya cuma tiga shaf saja, paling banter 4 shaf. Dari jumlah itu yang muda dapat dihitung dengan jari tangan. Kenapa kaum mudah jarang yang hadir rutin salat subuh? Tentu banyak jawabannya. Mungkin mereka memang jika pagi hari lebih banyak kegiatan ketimbang yang tua-tua, apalagi yang pensiunan. Dengan berbagai kesibukannya, gak sempatlah jika kaum muda salat subuh di masjid. Waktu mereka terbatas. Kalau salat subuh di masjid jadwal mereka bakal terganggu. Jadilah mereka memilih salat subuh di rumah saja. Boleh jadi juga memang selama ini kita belum memiliki “tradisi“ atau “budaya” salat subuh di masjid. Jadi, salat subuh di masjid belum <em>internelazied</em> atau belum mendarah daging dalam tradisi atau kebudayaan Indonesia. Walhasil, salat subuh di masjid memang belum menjadi prioritas mayarakat kita. Jangankan salat subuh di masjid, salat subuh di rumah saja jangan-jangan juga jarang. Maka tak begitu mengherankan yang datang salat subuh di masjid sangat minim, itupun sebagian besar sudah sepuh. Kemungkinan lain, sebagian masih beranggapan salat subuh di masjid memang lebih cocok untuk mereka yang sudah tua. Alasannya, anak muda kan secara teoritis umurnya masih panjang. Masih banyak kesempatan untuk hidup lebih lama lagi. Lebih banyak memperoleh kesempatan melakukan aktivitas keduniawian. Mungkin nanti setelah menjadi tua dan meninggalkan “dunia hitam,” mereka baru gabung ke jemaah masjid subuh. Sebaliknya para orang tua dipandang lebih banyak waktu senggang sehingga salat subuh di masjid tak akan mengganggu aktivitas mereka. Apalagi teoritis orang-orang tua kan sering disebut “sudah bau tanah” alias mendekati ajal. Kematian telah mengintip mereka. Wajarlah kalau dipandang lebih bertaqwa dan mendekatkan diri ke Allah. “Apakah ada generasi milenial yang salat subuh di masjid?” Tanya seorang rekan dari Surabaya yang kebetulan selalu mengikuti tulisan “Sketsa Serba-serbi Salat Subuh” Hamba jawab, sekali dua kali ada, tapi yang rutin tidak ada. “Waduh!” jawabnya seraya menerangkan dia khawatir generasi jemaah salat subuh di masjid yang akan datang bakalan lebih sulit lagi ada generasi mudanya. Setelah salat subuh di masjid prakteknya kami sering mendengar pengumuman dari pengurus masjid, adanya warga yang wafat pada tadi malam atau pada jelang subuh. Pengumuman dilantangkan melalui pengeras suara masjid. Kalau yang meninggal masih tetangga sekitar lingkungan kami, biasanya setelah salat subuh di masjid, tanpa dikomando, kami para jemaah langsung melayat ke rumah duka. “Kebiasaan” ini menguntungkan bagi kami yang masih memiliki banyak kegiatan. Kalau tak melayat setelah salat subuh, mungkin kami tak sempat melayat. Pengalaman sebagai jemaah salat subuh, yang meninggal tidak selalu orang yang sudah tua. Bisa juga yang masih muda yang belum pernah salat subuh di masjid. Fakta ini membuktikan salat subuh di masjid bukan cuma buat para orang tua, tapi juga semua lelaki dewasa. Salat subuh di masjid tak ada hubungan dengan tua atau muda. Inilah yang membuat saya November 2017 menulis puisi yang mengabarkan keadaan itu sebagai berikut: <strong>Salat Subuh di Masjid</strong> Salat subuh berjemaah di masjid Jakarta tiga shaf tak sampai berjajar rambut beruban dan raut wajah keriput. Sementara generasi milenial masih nyenyak tidur nanti bangun memakai wangi parfum berpikir jauh dari bau tanah. Siang hari setelah salat dzuhur pengeras suara dari masjid mengumumkan <em>Innailahi wainailahi rojiun</em> telah wafat si Fulan berusia 21 tahun subuh tadi. T a b i k!. <strong>(Bersambung...)</strong> <strong>Penulis adalah wartawan dan advokat senior serta Dewan Pakar Pengurus Pusat Muhammadiyah</strong> (Tulisan ini merupakan reportase/opini pribadi dan tidak mewakili organisasi) <strong>Jangan lewatkan video populer:</strong> https://youtu.be/btie5KHCnrM
Discussion about this post