Oleh: Rachland Nashidik
Yusril Ihza Mahendra mengaku netral dalam skandal pembegalan Partai Demokrat oleh Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Ia mengaku menjadi kuasa hukum Moeldoko hanya karena peduli pada demokratisasi dalam tubuh partai politik.
Tapi skandal hina pengambil-alihan paksa Partai Demokrat oleh unsur istana, yang pada kenyataannya dibiarkan saja oleh Presiden, pada hakikatnya adalah sebuah krisis moral politik. Dan orang yang mengambil sikap netral dalam sebuah krisis moral, sebenarnya sedang memihak pada si kuat dan si penindas.
Yusril berpendapat, saat ini terdapat kekosongan hukum berupa ketiadaan otoritas negara untuk menguji kesesuaian AD/ART partai politik dengan Undang-undang. Maka Yusril mendesak Mahkamah Agung agar mengklaim kewenangan tersebut dan menguji AD/ART Partai Demokrat.
Tapi harapan agar partai partai politik di Indonesia menjadi partai politik modern, ada pada semua pihak. Justru karena itu, andai benar Yusril peduli, maka ia harus memeriksa AD/ART semua partai bukan cuma Demokrat. Dalam keperluan itu, ia bisa saja memilih bertindak sebagai profesor tata negara yang berjuang dengan sepenuhnya pamrih akademis. Misalnya mendorong legislative review terhadap UU partai politik agar “kekosongan hukum” yang ia sebut bisa dibahas para legislator.
Discussion about this post