Dalam kurun waktu tersebut, tercatat 3.070 perkara perceraian, dengan rincian 714 perkara cerai talak (perceraian yang diajukan oleh suami) dan 2.356 perkara cerai gugat. Angka cerai gugat meningkat tiga kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya.
Perselisihan dan pertengkaran berkelanjutan menjadi penyebab utama perceraian, dan faktor-faktor penyebabnya sangat beragam, termasuk masalah ekonomi dan kecanduan judi online suami. Dari total perkara perceraian, 1.533 perkara disebabkan oleh perselisihan, 1.017 perkara disebabkan oleh faktor ekonomi, dan 73 perkara disebabkan oleh salah satu pihak meninggalkan pasangan.
Selain itu, ada beberapa faktor lain yang memengaruhi perceraian. seperti perselingkuhan, penggunaan narkoba, dan poligami liar. (https://garut.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/pr-527147834/kecanduan-judi-online-jadi-faktor-penyebab-tingginya-kasus-perceraian-di-karawang-berikut-rinciannya).
Dari kasus yang terjadi di berbagai belahan bumi Indonesia, perceraian yang terjadi memiliki berbagai macam faktor. Misalnya karena himpitan ekonomi, judi online, narkoba kurangnya edukasi kehidupan suami-istri kepada mereka yang hendak menikah, mereka yang ingin menikah ini ternyata tidak semuanya siap, belum paham tentang keluarga, belum siap menjadi suami-istri dan belum paham tentang manajemen keuangan, kesehatan reproduksi, sehingga berpotensi melahirkan generasi stunting, yang sangat berpotensi untuk bercerai.
Juga pernikahan dini, stunting, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sangat berpotensi terjadi jika calon pengantin tidak memiliki wawasan tentang keluarga, kemiskinan ekstrim dan tingginya angka stunting yang menjadikan masyarakat tidak mampu beli susu, ikan dan sayur yang cukup untuk anak dua tahun pertama, dan ibu hamil.
Yang mengejutkan lagi ada kasus perceraian bukan karena persoalan ekonomi atau kasus KDRT, melainkan karena si suami seorang penyuka sesama jenis atau homoseksual.
Dari tahun ke tahun angka perceraian yang terjadi makin meningkat di karenakan tidak adanya solusi tuntas yang diberikan. Maka dari itu diperlukannya adanya sebuah solusi yang bisa memberikan pencerahan untuk kasus perceraian yang terjadi khususnya.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan Islam, sebagaimana Allah SWT telah menetapkan syariah tentang pernikahan, Allah SWT juga telah menetapkan syariah tentang talak (perceraian). Dasar pensyariatan talak adalah al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma’ Sahabat.
Di dalam al-Quran Allah SWT berfirman: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (TQS al-Baqarah [2]:229).
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).” (TQS ath-Thalâq [65]:1).
Sementara itu di dalam as-Sunnah, telah diriwayatkan dari ‘Umar ibn al-Kaththâb RA: “Bahwa Nabi SAW pernah menceraikan Hafshah, kemudian merujuknya kembali.” (HR al-Hâkim dan Ibnu Hibbân).
Juga telah diriwayatkan dari ‘Abdullâh ibn ‘Umar, ia berkata: “Aku mempunyai seorang istri yang aku cintai, tetapi ayahku tidak menyukainya. Lalu ayahku menyuruhku untuk menceraikannya, tetapi aku menolaknya. Lalu ayahku menyampaikan hal itu kepada Nabi SAW, Beliau kemudian bersabda: “Hai ‘Abdullâh ibn ‘Umar, ceraikanlah istrimu!” (HR at-Tirmidzî dan al-Hâkim).
Para sahabat Nabi SAW juga telah berijma’ atas disyariatkannya talak (perceraian).
Hak talak ada di tangan suami, bukan di tangan istri. Suamilah yang memiliki wewenang atas talak, bukan istri. Adapun kenapa hak menjatuhkan talak berada di tangan suami? Hal itu karena Allah SWT memang telah menetapkan talak di tangan suami. Syara’ tidak menyatakan ‘illat apapun atas hal itu, sehingga talak tidak boleh dikaitkan dengan ‘illat apapun.
Discussion about this post