Oleh: Sutrisno Pangaribuan
Barangkali terlalu prematur Aswan Jaya, Wakil Ketua DPD PDI Perjuangan (PDIP) Sumatera Utara (Sumut) membicarakan Pemilihan Gubernur Sumut, (Pilgubsu) 2024. Aswan sepertinya sedang “cari perhatian” dengan menyebut salah seorang kepala daerah pemilik KTA PDIP sebagai “kader terbaik”, yang layak dipertimbangkan sebagai Cagubsu 2024.
Jika hanya menjadi kepala daerah dijadikan Aswan sebagai syarat dan ukuran sebagai “kader terbaik”, maka banyak kader PDIP, bahkan Ketua DPC PDIP yang saat ini sedang menjabat kepala daerah di Sumut.
Merujuk proses yang dialami “kader terbaik” PDIP, Presiden Joko Widodo (Jokowi), yakni sebagai Walikota Solo dua periode, lalu jadi Gubernur DKI Jakarta, kurang dari satu periode, hingga jadi Presiden dua periode. Maka justru Nikson Nababan (Bupati Tapanuli Utara), atau Hillarius Duha (Bupati Nias Selatan) yang tepat dimajukan pada Pilgubsu 2024.
Pengalaman keduanya sama dengan Jokowi, Nikson Nababan dan Hillarius Duha telah menjadi Bupati dua periode. Sementara Zahir (Bupati Batubara), Darma Wijaya ( Bupati Serdang Bedagai), dan Bobby Afif Nasution (Walikota Medan), baru menjabat satu periode sebagai kepala daerah.
Fenomena Budiman Sudjatmiko
Barangkali banyak orang memberi penilaian “buruk” terhadap pilihan dan langkah politik Budiman Sudjatmiko (Budiman) saat ini. Budiman hijrah dari PRD lalu ke PDIP, kini mendukung Prabowo, lalu dipecat PDIP. Aswan juga sama, migrasi dari PRD ke PPP (versi Djan Farids), lalu hijrah dari PPP untuk menjadi Wakil Ketua DPD PDIP Sumut. Demikian juga dengan sejumlah orang yang pernah dipecat PDIP, bahkan menjadi lawan politik PDIP, kini menjadi Caleg PDIP.
Maka tindakan Budiman itu biasa, bukan hal baru, sehingga Budiman tidak layak dihukum, dibully dengan menyebutnya “penghianat”. Tangan PDIP juga terbuka menyambut dan menampung para penghianat, baik yang pernah menghianati PDIP sendiri, maupun menghianati partai lainnya.
Jauh sebelum para penghianat tersebut masuk PDIP, Budiman sudah menjadi “hero”. Bahkan sebelum PDIP lahir, Budiman telah bertarung nyawa membela demokrasi, mempertahankan kantor DPP PDI. Hingga Budiman dipenjara karena membela Megawati Soekarnoputri, yang dijadikan simbol perjuangan demokrasi, melawan rezim otoriter orde baru.
Sayangnya Budiman menyerah, tidak berani bertarung di internal PDIP, hingga akhirnya memilih keluar dan dipecat. Meski kemampuan Budiman jauh melampaui politisi yang lain, namun Budiman tidak memiliki kesabaran revolusioner, mendorong “perubahan” dari dalam.
Budiman tidak memiliki “pengikut”, hingga akhirnya tidak ada yang berani membelanya. Namun, memukul Budiman tidak menguntungkan bagi PDIP, sebab Budiman bukan “politisi biasa” yang hanya berjuang untuk dirinya sendiri. Budiman memiliki ide, gagasan, dan program politik yang jelas. Budiman sebagai politisi yang melampaui zamannya.
Budiman seharusnya bertarung merebut kekuasaan politik lokal, mulai dari Bupati, Gubernur, bukan lari. Budiman seharusnya menduplikasi pengalaman Jokowi yang merupakan teman diskusinya. Proses kepemimpinan Jokowi, telah menjadi “role model” kepemimpinan nasional, mulai dari daerah. Sehingga meski lari, dan dipecat dari PDIP, Budiman seharusnya tidak sekadar menjadi tim sukses Prabowo.
Budiman layak menjadi bakal calon wakil presiden (bacawapres) Prabowo. Sebab jika kebutuhan dan kepentingan politik Budiman hanya tim sukses, lalu jika menang di Pilpres ingin jadi menteri, PDIP pasti memberikannya, sebab Budiman pantas dan layak untuk itu.
Discussion about this post