Yang di ayat (4) Apabila pengurus pusat tidak dapat melaksanakan putusan sanksi maka Keputusan itu dibawa ke rapat pleno pengurus lengkap yang diperluas.
Rapat pleno diperluas itu sudah dilakukan, dihadiri Sasongko Tedjo sebagai Ketua Dewan Kehormatan secara fisik, dan juga Ketua Dewan Penasehat melalui zoom, dan disahkan bahwa sanksi atas pemberhentian Hendry Ch Bangun, dibatalkan. Tidak ada adu argumentasi selama rapat. Beberapa hari kemudian, baru protes. Aneh saja.
*
Yang kedua, PWI Jaya menetapkan pemberhentian saya sebagai ketua umum atas rekomendasi Dewan Kehormatan yang cacat karena ditandatangani oleh Nurcholis Basyairi yang sudah tidak lagi menjabat Sekretaris Dewan Kehormatan dalam susunan pengurus baru hasil rapat 27 Juni 2024 yang ada Akte Notarisnya dan disahkan Kemenkumham dengan nomer AHU-0000946.AH.01.08.Tahun 2024 pada 9 Juli 2024.
Ini aneh bin lucu yang memperlihatkan seorang ketua provinsi dan pengurusnya dalam memahami PD PRT. Ditambah lagi, PWI DKI Jakarta, belum memiliki organ Dewan Kehormatan Provinsi. Keputusan diambil beberapa orang dalam peristiwa yang mereka sebut rapat, yang tentu saja cacat karena bahan disodorkan DK Pusat, bukan DK Provinsi.
Sesuai PRT Pasal 20 ayat (3), apabila Dewan Kehormatan Pusat menilai saya bersalah seharusnya mereka meminta DK Provinsi DKI Jakarta untuk memeriksa saya, tentu dengan temuan atau bukti-bukti atau ada pihak yang mengadukan saya.
DK Provinsi DKI lalu memberi rekomendasi, secara administratif meminta Pengurus PWI DKI meneruskannya ke PWI Pusat untuk diserahkan ke Dewan Kehormatan Pusat, untuk dirapatkan dan dibuat Keputusan. Lalu Keputusan itu yang diserahkan ke Pengurus Harian PWI Pusat, untu dieksekusi oleh Ketua Umum PWI Pusat.
Kecerobohan Dewan Kehormatan PWI Pusat juga terjadi ketika menjatuhkan sanksi kepada Mohamad Ihsan, Syarif Hidayatulah, dan Sayid Iskandarsyah, karena tidak melalui klarifikasi atau konfirmasi karena mereka berhalangan hadir dan bahkan surat undangan tidak ada.
Sampai detik ini tidak ada permintaan maaf atas kekeliruan massal itu. Nama boleh hebat, tapi pemahaman aturan organisasi, tidak memadai untuk menduduki jabatan terhormat.
*
Syarat saya tidak berhalangan tetap tidak terpenuhi karena masih sehat. Saya masih sah sebagai anggota PWI sehingga masih menjabat Ketua Umum PWI Pusat sesuai aturan negara dengan adanya SK Kemenkumham AHU 0000946.AH.01.08 Tahun 2024 tersebut. Dengan demikian, menggunakan Pasal 10 ayat (7) PRT untuk menggelar KLB.
Berikutnya lagi, syarat bahwa KLB harus didukung setidaknya 2/3 jumlah provinsi, artinya minimal diusulkan 26 provinsi—saat ini ada PWI di 38 provinsi, ditambah satu cabang khusus Solo sebagai kota berdirinya PWI pada 9 Februari 1946. Apa yang terjadi dengan omon-omon sejumlah anggota PWI yang mengaku panitia KLB?
Sampai selesai acara syarat itu tidak terpenuhi. Di dalam rilis yang disebarluaskan media massa, disebut hanya 21 provinsi yang hadir. He..he..he. Mereka menunjukkan cacat aturan dengan sendirinya. Itupun kalau benar yang hadir Ketua dan Sekretaris PWI Provinsi.
Dari foto-foto yang dikumpulkan simpatisan PWI, yang tampak wajahnya hanyalah Ketua PWI Maluku Utara, Ketua PWI Sulawesi Barat, Ketua PWI Sulawesi Tenggara, Ketua PWI Jawa Timur, Ketua PWI Papua Barat, yang masih sah. Hadir pula eks Ketua PWI DKI Jakarta, eks Ketua PWI Bangka Belitung, eks Ketua PWI Riau, eks Ketua PWI Banten, karena mereka semua sudah diberhentikan oleh PWI Pusat, dan sudah ada Pelaksana Tugasnya, pada saat menghadiri apa yang disebut KLB itu.
Discussion about this post