Oleh: Syamsir Datuamas
Baru-baru ini tragedi kembali terjadi di perairan Desa Sibaluton, Kecamatan Basidondo, Kabupaten Tolitoli, Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng). Seorang pemanah ikan tewas dimangsa buaya, menambah daftar panjang korban yang jatuh akibat konflik manusia dan satwa liar.
Investigasi lapangan mengungkap, fenomena ini bukan peristiwa tunggal, melainkan cermin dari lemahnya penanganan pemerintah terhadap persoalan klasik yang terus berulang.
Nelayan, yang seharusnya menjadi subjek perlindungan ekonomi negara, kini justru berada dalam ancaman eksistensial antara mempertahankan hidup dengan mencari nafkah, atau mempertaruhkan nyawa di habitat yang tidak lagi aman.
Kita ketahui buaya memang satwa dilindungi, namun di sisi lain, negara juga berkewajiban melindungi warganya. Pertanyaannya mengapa hingga kini belum ada langkah kongkrit dari pemerintah daerah maupun pusat untuk menata zonasi aman, mitigasi konflik, atau program penyelamatan nelayan dari ancaman predator liar?
Fakta di lapangan menunjukkan, sebagian besar wilayah tangkap nelayan tumpang tindih dengan habitat buaya. Namun regulasi perlindungan satwa lebih sering dijadikan tameng dibanding solusi nyata untuk menyelamatkan manusia.
Akibatnya, tragedi seperti di Sibaluton terus berulang tanpa kejelasan pertanggungjawaban.
Discussion about this post