<strong>Oleh: La Yusrie</strong> JAUH sebelum Jawa mengenal emansipasi kesetaraan gender, Buton sudah mempraktikannya dengan mendudukan dua wanita sekaligus: Wa Kaa Kaa dan Bulawambona pada posisi sangat terhormat sebagai raja kesatu dan kedua Buton. Ketika negeri-negeri di Nusantara tenggelam dalam feodalisme akut yang menempatkan wanita ke pinggiran sebagai kelompok marginal tersisih yang "dikamarkan", Buton menempatkan wanita justru tidak dibawahi lelaki. Wanita di Buton diberi kedudukan terhormat, bahkan dimuliakan melebihi derajat lelaki, kepada Tuhan sekalipun bahkan dipanggil memakai preferensi ke wanita; Waompu, bukan Laompu yang merujuk ke lelaki. Seorang wanita bangsawan sangat tersohor tak hanya di Buton tetapi oleh bahkan VOC mengenal dan mengenangnya sebagai dialah pesaing paling tangguh bagi perusahaan dagang bikinan Belanda itu. Namanya Wa Ode Wau, peniaga besar dengan 3000 pekerja dan 600 armada kapal niaganya dilayarkan berseliweran memasuki bandar pelabuhan-pelabuhan besar di Jawa dan negeri-negeri di barat nusantara. Kapal-kapal niaganya yang berlambung besar bahkan telah mencapai Singapura, Johor, bahkan Peurlak di utara Aceh. Sun Yin, seorang peniaga besar Singapura dan konglomerat penguasa bandar di sana memberi kesaksiannya: "Keuntungan barang dagangan Wa Ode Wau dari kesultanan Buton dalam satu musim dapat menghidupkan rakyat di ketiga negeri yakni Singapura, Johar dan Negeri Sultan Iskandar Muda (Aceh) selama 1 tahun. Ia mempunyai armada besar yang membawa barang dagangan yang tidak dapat ditampung di pelabuhan Singapura dan Johar dalam 1 musim," Gubernur Jenderal Willem van Outhorn (Desember 1690-Agustus 1704), juga Gubernur Jenderal Jeremias van Riemsdijk (28 Desember 1755 - 3 Oktober 1777), serta ditegaskan oleh Gubernur Jenderal Willem Alting (Maret 1780 - 17 Februari 1797), dan Residen Brugman (1906) menaksir harta kekayaan Wa Ode Wau sekira 180 milyar gulden, atau setara 60 milyar dolar. Wa Ode Wau adalah puteri La Arafani--Sapati Baaluwu, dengan begitu ia adalah cucu kenepulu La Bula, pangkal kaomu--bangsawan Kumbewaha di Buton. Ia bersaudara dengan La Dini, Sultan Syaifuddin Khalifatul Khamis, Sultan Buton ke-14 (1695--1702) yang adalah ayahanda La Ngkariri--Oputa Sangia (Sultan Buton ke-19, 1712--1750), La Ode Kaili (Lakina Laboora) dan La Seha, Sultan Rafiuddin Malik Sirullah (Sultan Buton ke-22, 1757--1760). Ketika La Buke, Sultan Ghafurul Wadud Khalifatul Khamis, Sultan Buton ke-6, 1632--1645, yang adalah pamannya mengerjakan penyelesaian pembangunan benteng keraton Buton, ia merelakan hartanya dalam jumlah besar untuk disumbangkan, La Buke kemudian sepenuhnya menyelesaikan benteng itu. Sekalipun sudah memberi bantuan besar itu, terhadap Sara Kesultanan, ia menolak menerima pamrih dan diberi balas jasa. Kata-katanya menunjukan kemuliaannya. “Aku tidak mengharapkan sesuatu pemberian dari Sara (Pemerintah) Kerajaan atas pengorbanan harta bendaku terhadap pembangunan Benteng Wolio, tetapi semata-mata untuk kepentingan negeriku sendiri, serta untuk kehormatan kaumku dan anak cucuku dikemudian hari. Semoga mereka ada yang mengikuti jejakku ini.” "Kartini-Kartini" di Buton telah lahir, jauh sebelum Kartini di Jawa dilahirkan. <strong>Penulis adalah Budayawan Buton</strong> <strong>Jangan lewatkan video populer:</strong> https://youtu.be/QfwZvoq7Mu0
Discussion about this post