Oleh: Ardi
Unjuk rasa sebagai bagian dari kegiatan penyampaian pendapat di muka umum dibolehkan berdasarkan UU No 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Lebih dari itu kegiatan tersebut bahkan dikualifikasi menjadi bagian dari hak asasi warga dilindungi oleh Konstitusi, khususnya pada pasal 28E UUD 1945.
Lebih lanjut, dalam pelaksanaan kegiatan penyampaian pendapat di muka umum, UU No. 9/1998, pasal 13 ayat (3), secara eksplisit menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggung jawab menyelenggarakan pengamanan untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum sesuai dengan prosedur yang berlaku. Sehingga atribusi kewenangan perundang-undangan dlm pengamanan unjuk rasa diserahkan kepada institusi Kepolisian, dalam hal ini Polri.
Dengan atribusi kewenangan ini, Polri menyusun lebih lanjut mekanisme atau prosedur tata cara pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum. Maka lahirlah Peraturan Kapolri (Perkap) No. 9 Tahun 2008 mengatur secara khusus tentang penyelenggaraan pelayanan, pengamanan, dan penanganan perkara penyampaian pendapat di muka umum, sebagai peraturan lebih lanjut dalam rangka melaksanakan amanat UU di atas.
Selain itu, terdapat juga beberapa produk peraturan lainnya di internal Kepolisian yang berkaitan dengan pedoman atau panduan pengamanan unjuk rasa atau kegiatan penyampaian pendapat di muka umum lainnya. Salah satu di antaranya adalah Perkap No. 16 Tahun 2006 tentang pedoman pengendalian massa, lebih dikenal sebagai Protap Dalmas, yang mengatur tata cara pengendalian massa dalam unjuk rasa. Dan terbaru adalah Perkap No. 2 Tahun 2019 tentang Penindakan Huru Hara (PHH), sebagai pedoman lebih lanjut bagi aparat kepolisian dalam menangani aksi massa tergolong situasi sulit dan tidak terkendali atau mengarah pada tindakan anarkisme (status merah).
Selanjutnya, dalam kegiatan penyelenggaraan pengamanan unjuk rasa ini Polri pertama-tama harus memastikan pada anggotanya mengenai kewajiban yang harus ditaati ketika melakukan pengamanan di lapangan. Sebagaimana tertuang pada pasal 13 Perkap No. 9/2008, bahwa dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum oleh warga negara, aparatur pemerintah (khususnya Polri) berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
a. melindungi hak asasi manusia;
b. menghargai asas legalitas;
c. menghargai prinsip praduga tidak bersalah;
d. menyelenggarakan pengamanan.
Dalam Perkap yang sama dijelaskan juga mengenai hal-hal dinilai kontra produktif harus dihindari oleh aparat kepolisian, khususnya ketika akan melakukan upaya paksa, yaitu di antaranya tindakan aparat yang spontanitas dan emosional, misalnya mengejar pelaku, membalas melempar pelaku, menangkap dengan kasar dengan menganiaya atau memukul Pasal 24 poin (a).
Selain itu, aparat dituntut pula untuk menghindari tindakan yg melakukan kekerasan, penganiayaan, pelecehan, melanggar HAM Pasal 24 poin (e). Namun dalam prakteknya seringkali hal-hal ini seperti tidak diindahkan oleh aparat itu sendiri.
Terdapat kewajiban lainnya pula disertai dgn dengan larangan-larangan bagi aparat kepolisian ketika melakukan pengamanan unjuk rasa atau pengendalian massa lainnya. Ketentuan mengenai ini bisa kita dapati dalam Perkap No. 16/2006 yang mengatur tentang pedoman pengendalian massa/ Protap Dalmas.
Pasal 7 ayat (1) Perkap ini tercantum secara jelas larangan bagi aparat melakukan tindakan seperti: bersikap arogan dan terpancing oleh perilaku massa; melakukan tindakan kekerasan yang tidak sesuai dengan prosedur; membawa peralatan di luar peralatan Dalmas; membawa senjata tajam dan peluru tajam. Bahkan hal insidental seperti memaki-maki pengunjuk rasa atau mengucapkan kata-kata kotor dilarang bagi aparat kepolisian.
Mengenai kewajibannya pada pasal yang sama pada ayat 2. Diantaranya kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia dari setiap orang yang melakukan unjuk rasa; melayani dan mengamankan pengunjuk rasa sesuai ketentuan; melindungi jiwa dan harta benda. Ketentuan mengenai ini bahkan diulang beberapa kali (repetisi) pada pasal dan ayat berikutnya, yaitu pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) serta pasal 21 ayat (1) dan ayat (2).
Terkait unjuk rasa di Kota Kendari, kemudian dibubarkan dengan paksa oleh aparat kepolisian, maka berdasar informasi lapangan yang kami dapatkan disertai kajian atas seluruh rangkaian peraturan sebagaimana di atas, kami menyoroti beberapa hal, namun pada intinya melihat masih adanya tindakan inprosedural aparat ketika melakukan upaya penanganan unjuk rasa.
Discussion about this post