Oleh: AMR
Hari-hari belakangan ini, saya mendadak begitu gandrung dengan urusan bahasa dan kaidah penulisan. Terlalu sering menerima tautan berita di WAG, membaca catatan orang di media sosialnya bikin saya iseng-iseng memerhatikan kaidah huruf dan ejaan yang mereka tulis.
Seperti biasa, terlalu sering mendengar kata yang diucapkan, dianggaplah itu sudah benar. Ironi Bahasa Indonesia adalah jarang orang yang peduli soal ejaan. Coba Bahasa Inggris, pasti dicek bagaimana ejaannya sebelum ditulis.
Selain kata-kata yang pernah saya tulis di dua edisi “Biasakan yang Benar” sebelumnya, ada pula beberapa kata yang pasti anda kerap keliru menulisnya.
“Jomblo” misalnya, dalam KBBI rupanya itu dianggap tidak baku. Kata yang benar untuk menunjukan orang yang belum memiliki pasangan itu adalah “Jomlo”. Ada yang baru tahu? Sekali lagi, ini adalah soal biasakan yang benar. Bukan benarkan yang biasa.
Pernah menggunakan kata “handal”? Itu juga tak baku. Di KBBI, yang dianggap baku adalah andal.
Nah, kalau urusan pinjam-meminjam itu namanya utang, bukan hutang. Satu kata yang juga bikin saya minder adalah “Saklar”. Ternyata ejaan yang benar itu adalah “Sakelar”. Saat membantu Izzat-anak saya-mengerjakan tugas Bahasa Indonesia dari sekolah, kata ini saya temukan.
Semalam, saya juga menemukan satu judul berita yang agak mengganggu. Tulisannya begini “Koalisi Penyelamatan Koltim, Demo Dikantor DPRD Menolak Agar Sekda…”.
Tampaknya, editor portalnya tak paham dengan baik cara menempatkan partikel “di”, sebagai imbuhan atau penunjuk keterangan waktu atau tempat. Termasuk penggunaan kata “Agar” sebagai kata sambung. Mestinya “agar” bukan “Agar”. Harusnya di Kantor, bukan Dikantor.
Discussion about this post