Oleh: Khaziyah Naflah
Perempuan dan anak seyogianya bagai mutiara yang harus dilindungi dan dimuliakan. Namun, semakin hari perempuan dan anak banyak menjadi korban kekerasan, baik fisik maupun seksual. Beberapa fakta menunjukkan adanya ancaman terhadap perempuan dan anak. Mereka harus mendapat perlakuan yang begitu keji.
Sebagaimana, fakta yang dilansir beritasatu.com, 07/01/2023, Polda Metro Jaya telah menyatakan wanita korban mutilasi di Bekasi bernama Angela Hindriati Wahyuningsih. Dia merupakan mantan aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) yang dinyatakan hilang sejak Juni 2019.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi Hengki Haryadi, Sabtu (7/1/2023), menyatakan pihaknya terus mendalami kasus pembunuhan disertai mutilasi terhadap Angela Hindriati Wahyuningsih yang ditemukan di Kampung Buaran, Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Selain itu, nasib miris juga menimpa seorang anak perempuan berusia 12 tahun di Kota Binjai, Sumatera Utara hamil dengan usia kandungan delapan bulan lantaran diduga menjadi korban pelecehan seksual (cnnIndonesia.com, 09/01/2023).
Kemudian kabar terbaru, dua remaja, AR (17) dan AF (14), menculik dan membunuh anak bernama Fadli (11) di Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel). Pelaku membunuh korban untuk dijual organ tubuhnya (detiknews.com, 10/01/2023). Dan masih banyak deretan peristiwa menyayat hati yang menimpa perempuan dan anak. Bahkan seakan tidak ada lagi keamanan bagi perempuan walaupun berada di sekeliling keluarganya.
Sungguh miris, fakta banyaknya kasus pelecehan, penculikan, penganiyaan hingga pembunuhan terhadap perempuan semakin membuktikan lemahnya sistem hukum dalam naungan kapitalis sekuler untuk melindungi dan memuliakan perempuan dan anak.
Walaupun banyak kebijakan-kebijakan yang dilakukan untuk menyelesaikan problem tersebut, namun nyatanya hingga saat ini solusi-solusi yang ditawarkan bagai fatamorgana, bahkan hanya tambal sulam belaka.
Penyelesaian problem ini sejatinya bagai buah simalakama bagi penguasa, di satu sisi penguasa ingin memberantas kasus kejahatan dan kekerasan terhadap perempuan dan anak, namun disisi lain disadari ataupun tidak atas nama liberalisasi dengan balutan hak asasi manusia penguasa justru memfasilitasi dan mendukung maraknya kasus tersebut, dengan banyaknya konten-konten porno bertebaran, miras induk kejahatan legal, serta tayangan-tayangan di media yang yang merangsang bangkitnya syahwat berseliweran.
Begitu pun jamak diketahui sistem hukum di negeri ini nyatanya tidak mampu memberikan efek jera bagi para pelaku tindak kejahatan dan terbukti sangat lemah, apalagi jika berhadapan dengan orang-orang berduit, seketika hukum akan menjadi tumpul. Inilah hukum buatan manusia, hukum bisa dibuat dan diubah-ubah sesuai dengan keinginan mereka.
Dalam sistem kapitalisme manusia berdaulat atas hukum, sedangkan agama dipisahkan dari kehidupan. Agama hanya diambil sebagai ibadah ma’dho (ritual) saja, tapi dalam urusan sanksi (uqubat), ekonomi, politik, pergaulan, makanan dan lainnya agama tidak boleh ikut campur.
Alhasil, kemaksiatan semakin marak dan tidak terselesaikan. Maka, mengharap penyelesaian kepada sistem kapitalisme “bagai pungguk merindukan bulan” tidak akan pernah tercapai sampai kapanpun.
Discussion about this post