Semua Cagub patuh dan tunduk kepada PDIP, termasuk dalam menentukan Cawagub. Tidak ada Cagub yang berani memberi syarat dan kriteria kepada PDIP. Proses demokrasi merdeka tetap berjalan namun keputusan akhir tetap dalam kendali PDIP, bukan pihak lain, apalagi Cagub.
Konsistensi DPP PDIP pada latar belakang sejarah, ideologi, dan kesetiaan pada nilailah yang membuat PDIP hingga saat ini diterima, dicintai dan dipilih oleh para kaum republikan di Sumut.
Jelang penyerahan rekomendasi untuk didaftarkan ke KPU menjadi momentum, titik kritis dan persimpangan jalan. Jika salah memilih Cawagub karena keinginan menang, maka bahaya bagi PDIP.
Pilgub bisa menang, tetapi PDIP akan ditinggal oleh basis utamanya karena kepentingan pragmatis. Maka upaya mengubah komposisi pasangan Cagub-Cawagub sesuai selera dan pesanan berbahaya. Jika sebelumnya wajib mengakomodasi kepelbagaian, warna-warni, kini dipaksa homogen, dan sewarna. Skenario yang akan berdampak buruk bagi masa depan PDIP di Sumut.
Maka tidak perlu menggunakan hasil survey merasionalisasi kehendak Cagub dan “circle” nya. Cagub yang tergantung kepada PDIP, bukan sebaliknya. Tanpa PDIP, Cagub tersebut hanya masa lalu. PDIP lah satu-satunya partai yang bersedia mengusungnya sebagai Cagub.
Sehingga, bukan PDIP yang tergantung kepada Cagub tersebut di Sumut. Maka Cagub dan circle nya diminta fokus mencari sosok yang dapat menutupi banyak kekurangan dan kelemahannya. Bukan sibuk membangun “rasionalisasi” dan “cocokologi”.
Jika mengacu pada hasil Pileg 2024, maka PDIP berhasil mendapatkan 3 dari 9 kursi (33,3%) dari Sumut 9 DPRD Sumut. Maka kader dari kawasan tersebut (Toba, Tapanuli Utara, Samosir, dan Humbang Hasundutan) harus prioritas sebagai Cagub/Cawagub.
Jika Cagub sementara sudah dipilih dari kawasan lain, maka Cawagub mutlak dari kawasan tersebut. Sebab jika kawasan ini tidak diakomodasi maka akan ada migrasi politik besar-besaran dari basis PDIP kepada lawan. Pihak lawan akan klaim lebih nasionalis di kawasan ini.
Discussion about this post