Oleh: Novrizal R Topa
Salah satu instrumen penting dalam sistem perencanaan pembangunan daerah adalah Pokok Pikiran (Pokir) DPRD. Pokir merupakan penjabaran aspirasi masyarakat yang dihimpun anggota dewan melalui reses, hearing, maupun pertemuan dengan konstituen, lalu dituangkan dalam dokumen perencanaan daerah untuk dijadikan bahan oleh pemerintah daerah dalam menyusun RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah).
Landasan Hukum Pokir
Landasan hukum Pokir jelas. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 96 ayat (1) menyebutkan: “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda dan rancangan Perkada, serta kebijakan pemerintah daerah.”
Hal ini menjadi dasar hukum partisipasi masyarakat yang kemudian dijembatani oleh DPRD melalui Pokir. Lebih lanjut, Permendagri Nomor 86 Tahun 2017 Pasal 78 ayat (2) menegaskan: “Pokok-pokok pikiran DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil penyerapan aspirasi masyarakat yang dititipkan kepada DPRD melalui reses, rapat dengar pendapat, kunjungan kerja, atau mekanisme lainnya.”
Pokir ini wajib diinput dalam Sistem Informasi Pemerintah Daerah (SIPD) dan menjadi salah satu bahan penyusunan RKPD. Artinya, kedudukan Pokir tidak bisa dianggap sebagai catatan politik semata, melainkan bagian resmi dari dokumen perencanaan pembangunan daerah.
Kominfo dan Problem Publikasi yang Belum Merata
Dalam konteks Sulawesi Tenggara, salah satu isu strategis yang layak dimasukkan dalam Pokir adalah persoalan media dan publikasi program OPD.
Selama ini, Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) lebih banyak difungsikan sebagai corong kegiatan seremonial gubernur dan wakil gubernur. Padahal, OPD lain yang memiliki program langsung menyentuh masyarakat, seperti pada Dinas Kesehatan, Pendidikan, Pertanian, Perikanan, hingga Pemberdayaan Masyarakat dimana publikasinya belum terakomodir secara baik.
Akibatnya, terjadi kesenjangan informasi. Publik seringkali hanya mengetahui agenda pimpinan daerah, tetapi buta terhadap program konkret di OPD yang sebenarnya jauh lebih relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Tanpa publikasi yang merata, masyarakat bisa salah menilai seolah-olah pemerintah daerah hanya bergerak pada level seremoni, bukan pada kerja teknis OPD.
Pokir DPRD: Menjembatani Aspirasi Publikasi OPD
Di sinilah letak strategis DPRD melalui Pokir. DPRD sebagai representasi rakyat memiliki dasar hukum yang kuat untuk menjembatani kebutuhan informasi publik.
Dalam perspektif UU 23/2014 Pasal 354 ayat (1) disebutkan bahwa: “Perencanaan pembangunan daerah disusun secara berjangka yang didasarkan pada data dan informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.”
Publikasi program OPD merupakan bagian dari proses penyajian informasi pembangunan yang akurat dan transparan tersebut. Maka, apa yang diperjuangkan DPRD melalui Pokir tentang penguatan publikasi OPD bukan sekadar urusan teknis, tetapi bagian dari amanat regulasi mengenai keterbukaan dan akuntabilitas pembangunan daerah.
Dengan demikian, wajar bila DPRD Sultra mendorong agar Kominfo tidak hanya fokus pada publikasi kegiatan pimpinan daerah, melainkan juga memberi ruang proporsional bagi OPD dalam menyampaikan programnya kepada masyarakat.
Apakah Pokir Media Dilarang?
Pertanyaan yang sering muncul adalah: apakah Pokir DPRD yang diarahkan untuk publikasi OPD bertentangan dengan aturan?
Jawabannya tidak. Pokir merupakan wadah resmi penyampaian aspirasi masyarakat yang harus diakomodir dalam RKPD dan APBD. Selama usulan publikasi OPD itu masuk dalam dokumen perencanaan, memiliki indikator kinerja yang jelas, serta sesuai aturan pengelolaan keuangan daerah, maka tidak ada satu pun regulasi yang melarangnya.
Discussion about this post