Pertama, elektrifikasi hingga ke rumah tangga secara efektif dan benar. Meski pada 2020 rasio elektrifikasi mencapai 99,2 persen faktanya masih banyak masyarakat yang belum mendapat akses layanan listrik, terutama di daerah terpencil atau terluar. Di beberapa daerah ada yang 30 persen warga belum teraliri listrik sama sekali.
Pada Mei 2021, pemerintah mencatat sekitar 500 ribu rumah tangga belum memiliki akses listrik. Kedua, harga listrik mestinya terjangkau ke seluruh elemen masyarakat. Penduduk yang berada di desa terpencil pasti kesulitan bila tarif listrik terus mengalami kenaikan. Harga listrik makin tidak terbeli, ancaman kemiskinan berada di depan mata. Ketiga, melakukan transformasi energi terbarukan (EBT).
Tidak ada yang gratis ketika hidup di bawah penerapan ideologi kapitalisme. Untuk sekadar menikmati aliran listrik saja harus berbayar. Meski pemerintah menerapkan listrik bersubsidi, tetapi dari tahun ke tahun nilai subsidi berkurang. Wacana kenaikan listrik 2022 tersinyalir juga karena ada upaya pemerintah memangkas subsidi listrik untuk PLN sekitar 8,13 persen.
Kesalahan kebijakan ini bukan hanya pada layanan yg kurang memenuhi harapan meski TDL sudah mahal, namun lebih mendasar kesalahan terletak pada negara yang memerankan diri sebagai pedagang yang menjual layanan energi yang bersumber dari kepemilikan umum. Dengan pemangkasan subsidi ini, pemerintah akan membayar PLN untuk menutup selisih tarif dari Rp61,53 triliun menjadi Rp56,5 triliun pada 2022.
Dampaknya, BPP listrik yang ditanggung PLN menjadi lebih besar. (bisnis.com, 5/12/2021) Imbasnya, mau tidak mau PLN harus menaikkan tarif listrik untuk mengurangi biaya yang besar. Begitulah watak penguasa kapitalis. Padahal, listrik adalah salah satu sumber energi milik rakyat. Mestinya rakyat dapat menikmatinya secara murah, bahkan gratis. Negara masih berhitung dalam memberikan pelayanan kepada rakyat. dan Negara tidak mengutamakan pemenuhan kebutuhan rakyat.
Bandingkan dengan sistem Islam mengelola milkiyah ammah dan menjamin pemenuhan kebutuhan energi rakyat. Kecukupan ini akan terwujud manakala kekayaan alam yang menguasai hajat publik ini terkelola dengan pandangan syariat Islam.
Sayangnya, liberalisasi sumber energi dan layanan listrik meniadakan peran negara sebagai penanggung jawab utama. Dalam Islam, listrik merupakan harta kepemilikan umum. Seperti Rasulullah saw. bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara: padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad). Listrik menghasilkan aliran energi panas (api) yang dapat menyalakan barang elektronik. Dalam hal ini, listrik termasuk kategori “api” yang disebutkan dalam hadis tersebut.
Terhadap barang tambang yang depositnya banyak, haram hukumnya dikelola oleh individu atau swasta. Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah saw, yang diriwayatkan Abyadh bin Hammal al-Mazaniy, “Sesungguhnya ia bermaksud meminta (tambang) garam kepada Rasulullah. Maka, beliau memberikannya. Tatkala beliau memberikannya, berkata salah seorang laki-laki yang ada di dalam majelis, ‘Apakah engkau mengetahui apa yang telah engkau berikan kepadanya?
Discussion about this post