Bahkan, normalisasi dengan Israel tetap mereka lanjutkan, karena tiada kesatuan kepemimpinan umat Islam dan praktik nasionalisme di masing-masing negeri maka tanah dan nyawa muslim tak bisa dilindungi.
Padahal Islam telah menganjurkan untuk saling tolong-menolong kepada sesama saudara yang ditimpa kesusahan.
Seperti digambarkan dalam hadis Nabi: “Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, mengasihi dan saling berempati bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggotanya merasakan sakit, maka seluruh tubuh turut merasakannya dengan berjaga dan merasakan demam” (H.R Bukhari dan Muslim).
Seyogianya pemimpin-pemimpin kaum muslimin lebih tegas dalam menghadapi kaum kafir penjajah, bukan hanya sekedar melakukan negoisasi perdamaian.
Negara-negara muslim tidak boleh kehilangan nyali saat berhadapan dengan negara-negara kafir. Karena sesungguhnya tanah Palestina adalah tanah wakaf milik kaum muslimin yang wajib dipertahankan.
Sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Sultan Abdul Hamid dari kekhilafahan Usmaniyah yang berhasil menjaga Palestina dari rongrongan Yahudi.
Pada bagian pendahuluan buku Catatan Harian Sultan Abdul Hamid II, dikutip tulisan seorang pemuda Turki, yaitu Hisyamuddin Aturk yang disebarluaskan di Istambul tahun 1957.
Dalam tulisan itu, Hisyamuddin berkata: “Theodore Hertzl dan Hakham Besar, keduanya telah menemui Sultan Abdul Hamid secara pribadi, dan meminta izin untuk membangun tempat tinggal orang-orang Israel secara terpisah di Al Quds. Abdul Hamid tidak memberikan sikap lain kecuali menolak mentah-mentah permintaan keduanya.”
Discussion about this post