PENASULTRA.ID, JAKARTA – Organisasi-organisasi kesehatan Indonesia mengadakan konferensi pers bersama di Kantor PP Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Rabu 6 Desember 2023 untuk merespon dinamika perumusan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan yang diduga mendapatkan intervensi dari pihak berkepentingan. Diduga tujuannya untuk memperlambat proses dan bahkan melemahkan isi RPP terutama bagian pengamanan zat adiktif.
Melihat peran penting masyarakat sipil dan praktisi kesehatan yang tergabung dalam organisasi masyarakat pegiat kesehatan masyarakat dan organisasi profesi kesehatan, dalam kesempatan yang sama mereka juga membacakan deklarasi dukungan pengamanan zat adiktif dalam RPP Kesehatan.
Kelompok pakar dan pemerhati kesehatan masyarakat ini merasa harus turut bersuara karena mereka memahami betul permasalahan kesehatan di Indonesia akibat konsumsi produk zat adiktif tembakau dan rokok elektronik yang terus berkembang.
Disahkannya Undang-Undang Kesehatan sebagai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 pada Agustus 2023 memerlukan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai aturan turunan yang di dalamnya termasuk bagian pengamanan zat adiktif untuk mengendalikan konsumsi produk tembakau dan turunannya. Dengan menekankan pada perlindungan masyarakat, maka harus dibuat aturan yang komprehensif dan strategis.
“Selama ini, para praktisi kesehatan adalah pihak di garda terdepan yang berhadapan langsung dengan masalah-masalah kesehatan yang diakibatkan oleh konsumsi rokok. Mereka memahami, penyakit-penyakit katastropik yang terus meningkat diiringi dengan prevalensi perokok yang tak kunjung turun, bahkan terus naik,” kata Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Dr Moh. Adib Khumaidi.
Prevalensi perokok anak mencapai 9,1%, dan terjadi peningkatan perokok pemula diusia yang lebih muda, yaitu pada kelompok usia 10-14 dan 5-9 tahun (Riskesdas 2013, 2018).
Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Dr. Piprim Basarah Yanuarso dalam pengantar pembukanya pada konferensi pers ini mengatakan, saat ini Indonesia sedang mendapatkan ancaman serius karena tren perokok semakin muda yang berpotensi akan menghadapi penyakit akibat merokok saat usia produktif.
Bahkan, kata dia, mulai dari sejak berada di kandungan, janin telah terpapar asap rokok yang membuatnya terancam stunting. Ditambah dengan maraknya iklan-iklan yang menarget anak-anak, mereka mulai merokok semakin dini dan kebiasaan ini kemudian merusak prefrontal cortex atau otak depan yang sangat penting dalam masa pertumbuhan mereka.
“Keadaan ini menjadi sangat genting dan harus segera diatasi dengan adanya aturan yang melindungi anak-anak kita dari ajakan merokok dan lingkungan yang membuatnya terpapar rokok,” jelas Dr. Piprim Basarah.
Peraturan Pemerintah (PP) 109/2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau dianggap sangat lemah sehingga target penurunan prevalensi perokok anak sulit tercapai.
Badan Pembangunan Nasional (Bappenas) sendiri memprediksi peningkatan perokok anak akan mencapai 16% di 2030 jika penanganan prevalensi perokok anak tidak dilakukan secara serius. Ditambah dengan adanya rokok elektronik yang terus berkembang tak terkendali saat ini, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menganggap hal ini menjadi ancaman baru bagi masyarakat Indonesia, terutama anak-anak.
Mewakili PDPI, dr. Annisa Dian Harlivasari mengatakan, maraknya rokok elektronik dan vape dengan berbagai rasa yang menarik anak-anak ini sangat berbahaya. Berbagai penelitian telah membuktikan bahayanya rokok elektronik dan vape, namun Indonesia belum punya aturan pengendaliannya.
dr. Annisa menyebut, zat kimia berbahaya pada rokok elektronik berada pada cairan/liquid yang mengandung nikotin, propilen glikol dan gliserin. Hasil penelitian RS Persahabatan, kata dia, pada urin perokok elektronik terdapat kadar residu nikotin yang kadarnya sama dengan urin perokok konvensional.
“Dengan demikian, rokok elektronik tidak aman. Selain itu, berbagai residu rokok elektronik dalam bentuk logam dan partikel memiliki risiko jangka panjang terhadap kesehatan. Temuan pada pasien-pasien kami adalah bukti yang tak terbantah bahwa produk adiktif ini harus dikendalikan segera atau kita akan menerima double burden desease; pengendalian rokok biasa longgar, ditambah tidak adanya pengendalian rokok elektronik dan vape,” jelas dr. Annisa.
Sementara itu, Global Adult Tobacco Survey (2021) menyebutkan, perokok dewasa Indonesia naik 8,8 juta perokok dalam satu dekade terakhir dan perokok rokok elektronik naik 10 kali lipat. Pengendalian konsumsi rokok baik rokok konvensional maupun rokok elektronik menjadi sangat mendesak dan tanpa tawar menawar.
Selaku praktisi kesehatan, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI), dr. Radityo Prakoso mengharapkan kali ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Kesehatan bersikap tegas. Menurutnya, aturan pengamanan zat adiktif yang komprehensif di dalam RPP Kesehatan sangat penting.
Discussion about this post