Oleh: Mohammad Nasir
Era digital masuk Indonesia bagaikan badai. Awalnya berupa angin lembut yang terasa nyaman. Kemudian tekanan angin itu bertambah kuat, semakin kuat dan membesar. Dahsyat dan mengobrak-abrik segala yang sudah ada.
Sebagai praktisi media, wartawan media cetak, semula kami mendambakan hadirnya teknologi digital yang bisa untuk mengirim naskah berita ke redaksi tempat kami bekerja, Harian Kompas.
Awal tahun 1990-an kami diperkenalkan perangkat pengiriman berita lewat komputer/laptop yang dihubungkan melalui jaringan telepon. Namanya crosstalk.
Pengiriman dijamin tidak sampai apabila pengiriman belum sampai 100 persen yang ditunjukkan dengan munculnya angka yang disertai suara “krook, kroook”. Begitu sampai 100 persen lega. Pasti masuk. Itulah pertama pengenalan alat pengiriman berita lewat komputer.
Sebelumnya kami menggunakan mesin teleks, dan faksimile yang kami pinjam dari kantor Telekom terdekat di mana kami berada: di daerah, luar kota, atau luar negeri. Tentunya kami membayar.
Ketika kami meliput konflik di Bosnia Herzegovina, tahun 1995, masuk sebuah hotel yang dinding kamar dan lift sudah berlubang-lubang karena ditembus peluru, pertama yang kami dekati adalah kantor hotel atau business centre untuk bisa menggunakan faksimile untuk mengirim berita. Ketika mesin faksimile yang dibutuhkan sudah ada, barulah kami tenang.
Zaman sekarang beda. Yang dicari bukan faksimile, tetapi komputer yang terdapat jaringan internet. Kalaupun tidak ditemukan komputer yang berjaringan internet, smartphone di tangan pun bisa berfungsi untuk mengirim berita dengan jaringan internet yang ada di dalamnya.
Smartphone berjaringan internet inilah yang kami bayangkan untuk bisa mengirim berita dari mana saja, dari hutan, dari pegunungan sampai rawa-rawa.
Saat itu saking kepinginnya mempunyai smartphone berteknologi canggih seperti itu, kami membeli setiap smartphone yang di dalamnya terdapat perangkat internet. Tujuannya untuk mengirim berita dari luar kantor.
Smartphone yang kami coba mulai dari merek Siemens, Nokia, Samsung, dan lain-lainnya. Namun ketika itu tahun 1990-an belum ada smartphone canggih yang bisa mengirim berita secepat smartphone sekarang ini. Dulu smartphone bisa digunakan mengakses internet setelah dioperasikan dengan beberapa langkah. Hasilnya tidak semulus sekarang.
Sekarang smartphone android bisa digunakan mengirim teks dan gambar hanya tiga langkah. Mengarahkan cursor ke pengiriman, pilih yang akan dituju, lalu tekan kirim (send). Betapa mudahnya. Ini surga bagi wartawan yang mengirim naskah berita dari luar kantor.
Namun kemudahan dan kenyamanan itu berujung duka. Diiringi “badai” internet. Semua serba internet.
Pertumbuhan media berbasis internet, yang disebut media online atau media siber tumbuh di mana-mana. Kebiasaan membaca lewat media cetak tergerus. Belanja iklan sebagian beralih ke media digital.
Media cetak kehilangan sebagian besar pemasukan iklan. Satu per satu media cetak tutup. Seluruh dunia media cetak, seperti koran, tabloid, dan majalah banyak yang gulung tikar dan tutup.
Era digital menjadi membudaya, menggusur tradisi bermedia lama. Cara mendistribusikan media berbeda, tradisi newsroom berubah, karena setiap menit berita bisa disiarkan melalui media online.
Jurnalisme pun mulai berubah. Berita yang belum dikonfirmasi kebenarannya boleh tayang, sambil menunggu dilengkapi hasil konfirmasi. Semua dilakukan demi kecepatan.
Discussion about this post