Namun gagasan awal proyek pariwisata ini tidak terealisasi. Sejak awal, YIA sepi. Kini justru YIA menjadi destinasi wisata dan ini diakui pihak Bandara sendiri. Warga jelas memiliki alasan kuat menolak, karena sebelumnya kawasan Wadas bukanlah untuk areal pertambangan mengingat di sana juga merupakan penyangga untuk kawasan menoreh. Mereka khawatir penambangan batuan tersebut akan menimbulkan persoalan serius seperti longsor.
Pemkab Konsel Genjot Vaksinasi Anak Usia 6 hingga 11 Tahun https://t.co/GEKy35s6sF
— Penasultra.id (@penasultra_id) February 16, 2022
Dikutip dari laman Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas, bendungan ini direncanakan bakal mengairi sekitar 15.069 hektare persawahan.
Bukan luas yang kecil mengingat negara ini juga membutuhkan ketahanan pangan. Warga menolak rencana penambangan batu andesit yang akan digunakan untuk pembangunan Bendungan Bener. Bendungan yang menjadi salah satu proyek strategis nasional itu berdasarkan Peraturan Presiden nomor 56 tahun 2018 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah nomor 590/41/2018, Desa Wadas adalah lokasi yang akan dibebaskan lahannya dan dijadikan lokasi pengambilan bahan material berupa batuan andesit untuk pembangunan Bendungan Bener.
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengungkapkan potensi hasil perkebunan di Desa Wadas mencapai Rp8,5 miliar per tahun, bisa lebih dari itu jika ditambah komoditas kayu keras yang mencapai Rp5 Miliar per lima tahun, Media indonesia.com (10/2/2022).
Dalam survei potensi ekonomi oleh Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempa Dewa) bersama Walhi Yogyakarta, LBH Yogyakarta dan Perpustakaan Jalanan, semua tanaman yang dibudidayakan di bukit Wadas bernilai akumulasi tinggi per tahun: petani mencapai Rp241 juta, kayu sengon Rp2 miliar, kemukus Rp1,35 miliar, vanili Rp266 juta dan durian Rp1,24 miliar.
Begitu banyak keuntungan di bukit Wadas itu sehingga warga menyebutnya “tanah surga di bumi Wadas”, belum lagi kekayaan fauna yang ada. Konflik di Wadas bukanlah satu-satunya konflik lahan antara rakyat dan pemerintah.
Tampaknya, konflik akan makin sering terjadi saat negara makin terlilit beban ekonomi. Mereka menggandeng para investor dalam membangun infrastruktur, baik jalan, perhotelan, maupun kawasan wisata. Tidak jarang, pembangunan tersebut kadang mengesampingkan dengan kepentingan (lahan) masyarakat.
Penguasa lebih memihak oligarki yang memberinya jalan untuk melanggengkan kekuasaan. Kepentingan rakyat tidak menjadi perhatian utama, bahkan cenderung terabaikan dan terlupakan.
Sementara, kepentingan oligarki makin difasilitasi melalui berbagai regulasi. Sungguh, sikap represif terhadap rakyat adalah bukti wajah buruk demokrasi dalam genggaman oligarki. Keberpihakan pada rakyat sejatinya hanya ilusi.
Discussion about this post