Prof. Henri Subiakto
Pagi ini saya terbang balik ke Surabaya, diminta bicara di kampus oleh teman-teman Departemen Sosiologi Unair di Seminar Nasional yg mereka adakan. Temanya luas terkait Tranformasi Digital.
Namun sesuai penelitian saya akhir tahun lalu, Indonesia agak suram dalam hal ini. Salah satunya kita tidak punya roadmap yang jelas ke depan ditambah lemahnya keadaan kita sekarang.
Keadaan negeri ini dunia digitalnya ada ketergantungan ke asing. Tak hanya mayoritas penduduk menggunakan platform asing, tapi juga data aktivitas digital warga negara juga dikuasai asing.
Data-data kita lebih banyak ada di Google, WA, YouTube, Twitter atau X, IG hingga TikTok. Data-data itu sulit diakses negara, dan ada diluar kekuasaan yuridiksi kita.
Data warga negara ada di server platform global yang diletakkan di luar negeri. Data kita selain dikendalikan dan diproses oleh korporasi asing, data di perusahaan perusahaan global itu, juga bisa diakses oleh pemerintah negara besar asal perusahaan platform itu berada. Terutama AS dan RRC, ada juga di Rusia dan Eropa.
Jadi keadaan digital kita ini terbuka seperti rumah tanpa jendela dan pintu. Para pemilik teknologi bisa melihat tingkah laku kita. Bisa menganalisis, memprediksi data-data itu. Bahkan bisa memprofiling individu, kelompok hingga bangsa besar ini.
Sedangkan data milik instansi negara atau milik pemerintah yang ditutup rapat dalam kamar khusus yaitu PDN atau pusat data nasional ternyata sudah dibobol, dihack maling. Jadi gak aman juga.
Kita ini sebenarnya tidak punya kedaulatan digital. Tidak punya kendali terhadap infrastruktur digital yang dipakai rakyat. Tidak punya kendali pada data digital. Apalagi kendali cyber security.
Hanya di perusahaan-perusahaan swasta nasional yang punya sistem sendiri-sendiri. Tapi saat anggotanya aktif secara digital di platform asing, ya sama saja. Mereka juga jadi target surveillance capitalism yang bukan berasal dari bangsa kita.
Padahal perang dan damai di masa depan, menurut Christian Fuch (2025) sangat ditentukan oleh cara kerja mekanisme kapitalisme digital ini. Perang masa depan bukan lagi dilakukan oleh tentara organik menggunakan senjata-senjata konvensional sebagaimana yang nampak di HUT TNI yang lalu.
Perang masa depan adalah perang cyber, dengan senjata yang terkoneksi secara digital berbasis AI dan data-data aktif. Bukan tentara melawan tentara berperang gerilya seperti masa lalu.
Discussion about this post