Ketika Undang-Undang Pers diberlakukan tujuan utamanya adalah untuk menghancurkan “kegelapan” dan “kesewenang-wenangan” Orde Baru dalam menjalankan pemerintahan, memberantas Korupsi, Kolusi, Nepotisme oleh Soeharto dan keluarganya dan rezimnya.
Pers tidak takut lagi melakukan kontrol atas lembaga dan penyelenggaraan negara, mengkritik penyelenggara negara yang menyeleweng, proses pembangunan yang asal-asalan, penganggaran yang tidak akuntabel dsb.
Sejauh produk jurnalistiknya dihasilkan secara profesinal, sesuai Kode Etik Jurnalistik, tidak ada masalah. Kalau dianggap melanggar pers wajib memberikan hak jawab, atau melakukan ralat, atau meminta maaf kepada pihak yang dirugikan atau ke masyarakat.
Tetapi sekarang, rambu-rambu di UU Pers, Kode Etik Jurnalistik, dan berbagai aturan hasil dari swaregulasi, seperti ditendang ke got oleh UU KUHP.
***
Di dalam poin menimbang, butir a dan b, jelas sekali bagaimana kedudukan UU Pers sebagai perwujudan dari Pasal 28 UUD 1945.
Bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 harus dijamin.
Bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa;
UU KUHP siap-siap menerkam pers yang menyampaikan informasi di satu sisi dan memidanakan masyarakat yang menyatakan pikiran dan pendapat sesuai hati nurani, dan memperoleh hak untuk mendapatkan informasi.
Kalau ada demonstrasi menyampaikan pendapat yang dianggap menghina pemerintah atau pejabat atau lembaga, posisi pendemo dalam ancaman, begitu pula pers yang memberitakan dalam bentuk visual, suara, ataupun tulisan. Padahal dalam UU Pers dijelaskan peranan dan fungsi pers.
Di Pasal 6 UU Pers, dikatakan, Pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut, a. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.
Pers akan kerepotan apabila melakukan liputan atas promosi doktor, diskusi, seminar, terkait dengan ideologi, yang dianggap bertentangan dengan ideologi negara, meskipun itu sejatinya demi kepentingan ilmu pengetahuan.
Beritanya akan berpotensi menjadi pidana penjara 4 tahun, padahal wartawan menjalankannya sebagai bagian dari tugas pers. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 UU Pers, untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Media-media di daerah yang kerap melakukan kontrol sosial atas proses pembangunan di wilayahnya mendapat ancaman yang nyata, ketika itu nanti dianggap sebagai bagian dari delegitimasi pemerintah atau pejabat pelaksananya.
Apakah pemberitaan jembatan yang rusak walau baru sebulan diresmikan, gedung sekolah yang ambruk padahal baru dibangun, jalan yang dibangun tidak sesuai spesifikasi, pejabat yang menyunat anggaran, kepala sekolah yang memungut di luar ketentuan, penentuan pejabat yang didasari suap, menjadi pintu masuk penjara bagi wartawan.
Bisa jadi meski wartawan menjalankan tugasnya sesuai dengan apa yang ditulis di Pasal 6 UU Pers, yakni d. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum;
Yang juga perlu mendapat perhatian dan disikapi dengan hati-hati oleh wartawan adalah perihal penyiaran berita bohong. Dari sisi Kode Etik Jurnalistik, informasi yang sudah dikonfirmasi dari sumber yang tepat sudah dianggap informasi yang benar, tetapi bisa jadi menjadi berita bohong apabila dianggap merongrong kewibawaan lembaga, institusi.
Discussion about this post