Tak heran, sejumlah perusahaan China sedang berupaya ekspansi di Indonesia dengan meningkatkan kerjasama di bidang peleburan dan pemrosesan metal berbasis nikel dan aluminium dengan perusahaan mitranya maupun pemkot di Indonesia, hingga menguasai 90 persen tambang nikel Indonesia.
Investasi asing mungkin diharapkan mampu meningkatkan harkat dan martabat bangsa dan negara. Pemerintah Indonesia berusaha untuk menarik sebanyak-banyaknya investasi masuk ke tanah air.
Iming-iming yang ditawarkan kepada para investor diantaranya adalah segala kemudahan dalam proses perizinan, fasilitas perpajakan dan tenaga kerja murah. Segala fasilitas tersebut dimanfaatkan dengan baik oleh korporasi asal China dengan dalih investasi, tetapi pada kenyataannya tak serupiah pun uang masuk ke tanah air.
Para korporasi asal China memang membangun pabrik pengolahan (smelter) nikel di berbagai tempat, namun semua alat dan perlengkapan hingga tenaga kerjanya dibawa dari negara mereka. Lantas, Indonesia dapat apa?
Mereka mengeruk sumberdaya alam kita dengan harga yang sangat murah, setelah “diolah” menjadi produk setengah jadi berupa Nickel Pig Iron (NPI) yang hanya memiliki kadar 4-9 persen kemudian diekspor ke negaranya, sehingga nilai tambah yang diharapkan diperoleh pemerintah Indonesia sangat rendah dibandingkan nilai tambah yang didapat negara China.
Sementara, limbah pabrik nikel tersebut menumpuk di negara kita, yang di masa depan tentunya akan menjadi masalah yang sangat besar bagi bangsa kita.
Investasi smelter nikel di tanah air telah menghancurkan alam kita. Mereka hanya menerima bijih nikel kadar tinggi sehingga sampah tambang yang berupa limonite (bijih nikel kadar rendah) yang jumlahnya 2/3 dari penambangan menjadi gundukan tanah yang sewaktu-waktu dapat memicu bencana dan kerusakan lingkungan.
Maka dari itu, Ekonom Senior, Faisal Basri menilai, kebijakan hilirisasi pertambangan untuk komoditas nikel sangat menguntungkan perusahaan smelter asal China yang berinvestasi di Indonesia. Keuntungan terjadi karena kebijakan itu membuat harga ore nikel di dalam negeri anjlok.
Tetapi, setelah diolah oleh smelter dan diekspor nilainya menjadi dua kali lipat. Hal ini lah yang membuat perusahaan asal China berbondong-bondong membangun smelter di Indonesia ketimbang di negaranya.
Faktanya, di Indonesia perusahaan tambang lokal diwajibkan membayar bea ekspor dan royalti, tetapi tidak untuk pengusaha smelter. (cnnindonesia.com, 3/9/2022).
Kemudian, benarkah bahwa para pekerja migran tersebut jumlahnya hanya 10 persen dari total pekerja? Dan benarkah mereka semua adalah tenaga ahli yang keahliannya tidak dimiliki rakyat Indonesia sebagaimana sering kita dengar dari pihak pemerintah?
Dari data yang diperoleh, tingkat pendidikan tenaga kerja asing asal China yang bekerja di industri nikel tanah air, komposisinya adalah sebagai berikut: SD persen, SMP 39 persen, dan SMA 44 persen. Lulusan D3/S1 hanya 2 persen dan berlisensi khusus 7 persen.
Dari komposisi tersebut, yang bekerja di smelter OSS kualifikasi TKA-nya adalah lulusan SD 23 persen, SMP 31 persen, dan SMA 25 persen, lulusan D3/S1 17 persen dan TKA berlisensi khusus hanya 4 persen. Sedangkan pada VDNI hanya 1 dari 608 orang TKA yang memenuhi syarat pengalaman kerja 5 tahun.(wartaekonomi.com, 3/3/2022).
Permasalahan tidak hanya pada pelanggaran hukum ketenagakerjaan serta keimigrasian. Namun, untuk mengelabui hukum-hukum yang berlaku di Indonesia dan menutupi kejahatan ketenagakerjaan, maka sistem pembayaran gaji para TKA China dibayarkan kepada keluarganya di negara asalnya, China. Sehingga, uang para pekerja tersebut tidak beredar di Indonesia dan tentunya terbebas dari PPH.
IRESS memperkirakan potensi kerugian negara akibat manipulasi pajak dan DKPTKA sekitar Rp37,92 juta per TKA per tahun. Jika jumlah TKA China yang bekerja adalah 5000 orang, maka potensi kerugian negara adalah Rp189 miliar per tahun. Jika diasumsikan jumlah smelter 20 buah (@ 5000 TKA), maka total potensi kerugian negara Rp3,78 triliun per tahun.
Demikianlah ilusi investasi dalam dunia kapitalisme liberal yang meniscayakan kerusakan tata kelola harta negara dan hanya menguatkan cengkraman kapitalisme liberalisme.
Seandainya Pemerintah sudah memiliki 51 persen saham atau lebih pun, Islam memandang hal ini adalah batil. Sebab, pada kenyataannya, kekuasaan hakiki berada di tangan pemilik modal. Artinya, penguasa sesungguhnya adalah pemilik modal itu sendiri. Seperti itulah tabiat sistem kapitalisme.
Oleh sebab itu, dalam pandangan Islam, tambang adalah milik umum yang harus 100 persen dikelola oleh pemerintah sebagai wakil dari rakyat, bukan kapitalis.
Discussion about this post