Oleh: H.S. Makin Rahmat
Perjalanan rohani, diiringi jasad dan jiwa selama bulan Ramadan bukanlah ibadah rutin semata. Selain memenuhi panggilan Allah SWT sebagai hambaNya yang beriman, di dalam Ramadan penuh dengan kemuliaan, termasuk malam Lailatul Qadar (lebih mulia dari seribu bulan).
Bagi Al Faqir, Ramadan merupakan candradimuka dalam mengarungi samudra hikmah. Tidak sekedar menggugurkan kewajiban dengan melaksanakan puasa Ramadan, menjalankan salat tarawih, hingga sebagai kewajiban pamungkas membayar zakat fitrah. Kita dilatih Tepo Seliro (toleransi), berbagi, merasakan kondisi lapar dan dahaga, serta mampu mengendalikan diri.
Dulu, sebelum medsos menjadi sarana informasi dan bahan pertimbangan hingga menjadi pembicaraan dan bisa mempengaruhi segala hal, masyarakat awam bersifat pasif untuk menunggu keputusan awal 1 Syawal 1444 H dari pemerintah.
Saat ini, dengan gampangnya, mampu mengakses informasi serta argumentasi data yang dilakukan oleh ahli teknologi, menjadikan yang minoritas menjadi bahan kajian argumentasi. Pada akhirnya, bisa membingungkan umat.
Dari sinilah, kita diminta lebih bijak dan mampu mengambil hikmah berdasarkan rujukan dalam penentuan awal Syawal yang telah digoreng menjadi ‘perang informasi’ dan melebar dari substansi kemaslahatan tujuan ibadah Ramadan yang penuh Rahmat, Maghfirah, dijauhkan dari api neraka, dan nilai-nilai keberagaman dalam menjalankan keyakinan.
Sebetulnya perbedaan awal Ramadan dan Syawal sudah menjadi tradisi serta berdasarkan sandaran ilmu falakiyah (perbintangan) yang tentu bisa dilakukan hisab atau perhitungan. Metode lain, secara khusus dilakukan rukyatul hilal, sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh baginda Rasulullah SAW.
Kebetulan di Indonesia, organisasi kemasyarakatan, khususnya Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sebagai ormas keagamaan yang punya pengaruh besar di Republik ini memiliki rujukan berbeda.
Jujur, secara pribadi saya lebih bisa menerima hujjah (pendapat) dan argumentasi KH Ahmad Bahauddin Nursalim alias Gus Baha, ulama kharismatik kontemporer terkait rujukan penentuan awal Syawal. Intinya, seseorang yang belum memiliki ilmu pengetahuan dan literasi seputar ilmu falakiyah jangan ikut berkomentar, adu argumentasi apalagi sampai beropini di luar nalar keilmuan falakiyah.
Discussion about this post