Jadi, ketika PP Muhammadiyah telah menetapkan 1 Syawal 1444 berdasarkan hisab dan perhitungan yang memiliki sandaran hukum dan falakiyah, jatuh pada hari Jumat 21 April 2023, tentu siapa pun harus bisa atau berusaha memahami keputusan tersebut dan menghormati.
Persoalan menjadi bias, ketika keputusan PP Muhammadiyah menjadi bagian dari informasi publik dan menimbulkan persepsi beda di lapangan tersiar begitu liar di medsos bahkan media mainstream. Bukan semata pada persoalan keruwetan tempat salat Idul Fitri saja, muncul bahasan tentang sahnya puasa, sementara ada takbir dan salat Id.
Lantas bagaimana hukum bagi orang yang masih puasa Ramadan? Padahal kalau seseorang atau kelompok memahami dengan sikap yang sudah dipilih, maka tidak perlu lagi mencampur-adukkan dengan sikap dan hujjah yang diputus oleh kelompok lain.
Sekali lagi, ketika yang bersuara bukan orang berilmu dan belum punya dasar terhadap apa yang menjadi pembicaraan, tidak akan fokus dan malah membingungkan. Sebaliknya, kondisi ini sulit dibendung oleh Kemenag (pemerintah) karena sifatnya hanya memberikan kebebasan dan menfasilitasi, bukan ikut campur dalam kegiatan keagamaan.
Peran Majelis Ulama Indonesia (MUI) belum mampu menjadi penyebar keberagaman sikap dari umat, sehingga subyektifitas yang muncul ke permukaan sulit dikendalikan. Apalagi, di kepengurusan MUI sendiri berasal dari berbagai unsur ormas keagamaan yang mempunyai misi dan visi, bukan menjadi pelopor pioner keberagamaan.
Bila kita sebagai hambaNya yang beriman, selayaknya usai mendengar, menelaah, dan mengkaji panggilan Allah SWT tentang Ramadan dengan tujuan menjadi umat yang bertakwa, tentu mempunyai konsekuensi yang ideal dalam bersikap, berhujjah, dan bertindak.
Rumusan sederhana, yaitu tetap mematuhi dan taat kepada Allah, Rasululllah supaya kita menjadi hambaNya yang beruntung.
Lantas siapa saja yang masuk kategori beruntung? Yaitu hamba Allah yang segera muhasabah, introspeksi, serta memohon maaf terhadap Sang Sutradara Agung Pengatur alam semesta yang menciptakan bumi dan seisinya diperuntukkan bagi manusia yang bertakwa (sesuai tujuan puasa Ramadan).
Yaitu, orang-orang yang derma dan cepat tanggap menafkahkan hartanya dalam keadaan lapang atau sempit, tidak gampang terpengaruh dan cepat marah menghadapi berbagai persoalan dan ujian, serta manusia yang memiliki jiwa pemaaf. Dan, yakinlah terhadap apa yang kita lakukan untuk kemaslahatan, karena Allah SWT menyukai hambaNya yang berbuat kebajikan.
Discussion about this post