Saya baru mengerti mengapa Begawan Sastra Indonesia, Prof. Dr. Budi Darma (1937-2021) dalam obrolan dengan saya di awal tahun 2000-an pernah memuji Mbak Ikit sebagai muridnya yang hebat.
“Bakat Sirikit sebagai prosais sangat besar. Tapi tampaknya dia lebih menyukai dunia jurnalisme dan menulis sajak. Tidak apa-apa juga,” ujar Pak Bud. “Kemampuan menulisnya itu sangat membantu karier jurnalistiknya.”
Waktu itu Mbak Ikit juga menjadi penerjemah. Salah satu buku yang dialihbahasakannya ke dalam bahasa Indonesia adalah Biografi Muhammad karya Karen Armstrong yang menjadi global best seller. Setahun kemudian, Mbak Ikit menerjemahkan karya David T. Hill dan Krishna Sen dengan judul Budaya, Media, dan Politik di Indonesia.
Kemampuan menulis dan menerjemahkan bahasa Inggris dimatangkannya saat menjadi mahasiswa pascasarjana di University of Westminster, London, Inggris (2002). Setelah itu dia malang melintang magang dan bekerja di beberapa media massa di negeri tempatnya menuntut ilmu dan Amerika Serikat. Sedangkan gelar doktor ilmu bahasa diraihnya dari Universitas Negeri Surabaya melalui disertasi berjudul “Naming and Labelling in Terrorism News Report” (2018).
Mbak Ikit sudah melangkah jauh dari awal kariernya sebagai wartawati Surabaya Post (1984-1990, 2007), SCTV-RCTI Biro Surabaya (1990-1996), dan The Jakarta Post (1996-2000). Di tahun 1999, Mbak Ikit mendirikan Lembaga Media Watch dan belakangan Sirikit School of Writing (2012).
Di luar kiprah sebagai jurnalis, Mbak Ikit aktif bertungkus lumus dengan komunitas seniman Surabaya. Dia pernah menjadi Ketua Bengkel Muda Surabaya, Ketua Biro Sastra Dewan Kesenian Surabaya, dan Ketua Presiden Dewan Kesenian Surabaya. Sampai akhir hayatnya ketika kondisi kesehatannya sudah menurun jauh, Mbak Ikit tetap aktif sebagai penasihat/pembina di Bengkel Muda Surabaya dan Dewan Kesenian Surabaya.
Satu hari di bulan Februari 2021, sebuah tulisan Mbak Ikit mengejutkan saya. Tulisan berupa review novel sci-fi saya Disorder (Bentang Pustaka, Desember 2020) itu muncul di beberapa media online seperti Viva.co.id dan Republika.id.
“Novel yang paling diantisipasi tahun ini, memiliki kesempurnaan di setiap elemennya. Ide ceritanya original, otentik, out-of-the-box,” tulisnya.
“Setiap detil meyakinkan … sebagai pembaca, saya tidak menduga akhir cerita. Mengejutkan, tapi masuk akal.”
Merasa tersanjung oleh ulasan seorang jurnalis-penulis senior-doktor ilmu bahasa, saya mencoba menggali pendapatnya lebih dalam dan Mbak Ikit berkenan menjelaskan berdasarkan kajian akademis yang ditekuninya.
Pada akhir pembicaraan dia mengatakan, “Saat ini dua penulis Indonesia favorit saya adalah Dee Lestari dan Uda Akmal. Karya-karya kalian menunjukkan eksplorasi dalam penemuan diksi, frasa dan tetap dalam bentuk kalimat-kalimat indah yang senantiasa berakhir dengan rima.”
Discussion about this post