Negara ini sebenarnya memiliki sejumlah peraturan tentang Pemilu, baik yang mengatur jadwal, proses dan tahapan, maupun kelembagaan Pemilu, baik penyelenggara dan pengawas. Termasuk keterlibatan pemerintah baik aparat sipil, militer serta penegak hukum yang menjadi fasilitator dan supporting sistem Pemilu.
Namun semua pihak seperti “sepakat melakukan pelanggaran berjemaah”. Penyelenggara dan pengawas berdalih tahapan belum mulai sehingga belum dianggap sebagai kampanye dan tidak dapat ditindak.
Sementara pemerintah beralasan baru bertindak jika ada laporan. Akibatnya semua bakal calon peserta Pemilu, baik Parpol, perseorangan, pasangan calon untuk presiden dan kepala daerah kompak mengotori area publik.
Jalan-jalan raya dipenuhi baliho, spanduk, dengan gambar wajah dan slogan kosong. Pepohonan dirusak, dipaku gambar-gambar wajah demi promosi diri. Sementara mereka yang sedang berada pada jabatan-jabatan publik menggunakan secara bebas seluruh fasilitas dan anggaran untuk menjual diri.
Memutus Konflik Kepentingan
Meski tidak ada hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden Joko Widodo menerbitkan Perpu demi mengakomodasi kepentingan parpol mempertahankan nomor urut yang sama dengan Pemilu 2019. Perpu No. 1 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang kini telah berubah menjadi UU.
Untuk kebutuhan penertiban peserta Pemilu agar mematuhi dan mengikuti seluruh jadwal dan tahapan Pemilu, maka Kongres Rakyat Nasional (Kornas) sebagai wadah berhimpun dan berjuang rakyat dalam mewujudkan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia meyakini saat ini terdapat hal ikhwal kegentingan yang memaksa agar Presiden menerbitkan Perpu Pemilu untuk mengatur hal- hal sebagai berikut:
Pertama, bahwa Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dalam jabatannya tidak dapat ditarik-tarik dalam kepentingan politik praktis pileg, pilpres, dan pilkada. Maka seluruh peserta pemilu dilarang menggunakan bahan dan atribut sosialisasi, baik berupa baliho, spanduk, banner, media audiovisual, atau bentuk lainnya menggunakan atau melibatkan gambar wajah, suara, maupun video presiden.
Cawe-cawe Presiden hanya dapat dilakukan dalam rangka pemilu berjalan dengan baik sesuai dengan azas pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Kedua, bahwa seluruh presiden dan wakil presiden baik yang sedang bertugas maupun purna tugas, baik yang masih hidup maupun telah meninggal sejatinya menjadi pemimpin sekaligus milik seluruh rakyat Indonesia. Mereka bukan lagi milik kelompok, golongan, atau partai tertentu (kecuali bagi para pemilik atau pimpinan partai politik). Maka penggunaan gambar wajah, suara, audiovisual para tokoh bangsa tersebut dalam bahan sosialisasi pemilu dilarang.
Discussion about this post