Bahaya yang ditimbulkan dari pengembangan pariwisata ala kapitalis sekuler sangat kompleks. Tujuan mengangkat kembali tradisi lokal yang umumnya bertentangan dengan syariat Islam, bisa saja menggiring umat pada fase pendangkalan akidah.
Belum lagi, berbagai keburukan sudah menanti di depan mata. Sudah menjadi rahasia publik bahwa bisnis leasure identik dengan miras dan prostitusi. Sebab, bagi kalangan pemuja kebebasan, miras dan prostitusi adalah kesenangan jasadiyah yang harus dipenuhi.
Parahnya, pemerintah malah mengeluarkan Perppu tentang pelegalan produksi miras di kawasan pariwisata. Demi kepuasan wisatawan asing, produksi miras dilegalkan. Padahal, miras/Khamr disebutkan oleh syariat adalah pangkal dari segala kejahatan.
Abdullah bin Amr meriwayatkan, Nabi saw. bersabda, “Khamr adalah induk dari segala kejahatan, barang siapa meminumnya, maka salatnya tidak diterima selama 40 hari, apabila ia mati sementara ada khamr di dalam perutnya, maka ia mati sebagaimana matinya orang Jahiliah.” (HR Ath-Thabrani).
Begitupun prostitusi, selalu melingkari kawasan wisata. Bisnis ini dilegalkan dengan lokalisasi. Belum lagi bisnis kelab malam alias diskotek yang sulit dipisahkan dari praktik judi, narkoba, dan kemaksiatan-kemaksiatan lainnya.
Namun, dalam sistem kapitalisme, semua dibiarkan, atas nama HAM dan kebebasan. Tidak peduli, apakah bisnis tersebut mengandung mudarat bagi masyarakat atau tidak, bisnis ini seolah dilindungi.
Olehnya itu, tidak heran jika banyak syariat ditabrak, bahkan praktik pendangkalan akidah terus dilestarikan. Benarkah semua ini untuk pemulihan ekonomi rakyat? Apakah benar kawasan wisata menciptakan lapangan kerja, hingga dana besar pun digelontorkan?
Jawabannya, tentu tidak. Sebab, yang paling diuntungkan dengan pembangunan kawasan wisata adalah mereka yang memiliki modal besar.
Apa kabar masyarakat sekitar? Apakah pengembangan pariwisata membawa kesejahteraan bagi mereka? Bisa dipastikan, tidak ada kompensasi untuk warga yang selama ini menggantungkan hidup sebagai nelayan atau petani yang mengandalkan kawasan sekitar area wisata.
Kita tahu, ketika suatu wilayah telah resmi menjadi tempat wisata, masyarakat tidak lagi bebas mengambil manfaatnya, seperti menangkap ikan, menambak garam, budidaya rumput laut, dll.
Kendatipun ada lowongan pekerjaan, jika tak punya pendidikan tinggi, hanya akan kebagian pekerjaan yang upahnya kecil. Seperti penjaga pintu masuk, cleaning service, dan sejenisnya. Itu pun harus berebut karena jumlah lowongan biasanya tidak sebanyak pencari kerja. Menyedihkan.
Discussion about this post