Opini: Ashari
Histori keberadaan investasi PT. Aneka Tambang (Antam) di Kabupaten Konawe Utara (Konut), Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) sejak tahun 2005 hingga saat ini tidak signifikan memberikan dampak positif terhadap perekonomian masyarakat dan daerah.
Selalu mencari keuntungan besar tanpa melihat kearifan lokal dan bagaimana memikirkan daerah Konut yang merupakan daerah penghasil, bukan menjadi bumerang dengan dalih objek vital. Ibaratnya, hanya sekedar membeli sayur di desa lalu menjualnya dengan keuntungan besar di kota.
Betapa tidak, bendera PT. Antam Pomalaa, Kolaka berkibar di jazirah Bumi Oheo. Projectnya di Konut tapi semua fasilitas dan mobilitas dipakai serba sewaan dari luar.
Kondisi itu jelas, daerah Konut sangat dirugikan mengingat ribuan hektar potensi kekayaan alam dikuasai oleh PT. Antam dengan jumlah aset yang dimilikinya di Pomalaa hanya kisaran 600 Ha. Maka skema UBPN Antam jelas kami tolak. Wilayah kami mestinya menjadi pusat atau centra investasi menuju keadilan dan pemerataan. Bukan masyarakat Konut menjadi penonton terbaik di daerah sendiri.
Praktek BUMN-isasi PT. Aneka Tambang adalah persoalan yang mesti disuarakan dengan perlawanan oleh seluruh masyarakat Konut terlebih lagi pemerintah daerah sebagai aparatur otoritas penyelenggaraan negara di daerah.
Rapor merah PT. Antam di Konut harus clear, tidak boleh berlarut-larut hanya karena regulasi yang rentan sebagai intervensi pusat yang tidak pro-rakyat.
Wajib Tunaikan Janji Bangun Smelter
Janji akan membangun smelter atau pabrik pemurnian ore nikel di Konut merupakan syarat dari pemerintah otonom saat itu sehingga PT. Antam mendapatkan persetujuan pemberian IUP prioritas. Tidak ada alasan untuk tidak bangun pabrik pemurnian.
Dalam perjalanannya, PT. Antam diketahui pernah melakukan peletakan batu pertama pada tahun 2011 termasuk pembebasan lahan masyarakat untuk kepentingan industri. Sejak saat itu pula justru tidak ada keseriusan investasi Antam mendirikan smelter yang bertujuan untuk menyejahterakan rakyat dan membangun daerah.
Investasi malu-maluin itu bisa dilihat. Contoh, kantor statusnya sewaan rumah warga, sektor pemberdayaan semua unit bisnis dibawa masuk dari luar, pengangkatan pegawai tetap BUMN tidak ada orang Konut sampai sekarang. Parahnya, masyarakat atau tenaga lokal mengemis dan dibuat kecewa hanya permohonan berbagai program kegiatan kepemudaan.
View this post on Instagram
Program CSR Hanya Pemanis
Program Coorporate Social Responsibility (CSR) PT. Antam hanya sekedar menggugurkan kewajiban. Dalam pelaksanaannya lebih utama dijadikan sebagai label branding seolah PT. Antam hadir berkontribusi.
CSR jangankan mau berjalan, sampai mengemis belum tentu dilaksanakan. Sunatan massal, pengadaan tas sekolah begitu juga saat emergency, sembako indomie telur menjadi pemanis ketika terjadi bencana melanda Bumi Oheo.
Perusda Konut Dianggap Rival
Di mata PT. Antam, Perusahaan Daerah (Perusda) Konut tak ubahnya adalah sebuah rival bisnis semata. Bukan mitra.
Pada lelang Blok Matarape –eks PT. Vale (PT. Inco)– PT. Antam terlihat lebih ambisi menguasai dengan menggandeng perusahaan swasta konglomerat. Ibarat gajah melawan semut, Perusda Konut terseok-seok hingga dinyatakan tidak lulus. Padahal kesempatan itu daerah bisa mandiri mengelolanya.
Keserakahan juga terjadi di Blok Tapunopaka. Modusnya, perusahaan plat merah itu dagangannya menjual tanah air ke industri dalam negeri milik asing. Ironisnya, tuntutan para pemilik lahan untuk diselesaikan haknya, hanya sebatas janji. Lebih sadisnya lagi, ternyata bukan realisasi janji penyelesaian lahan warga, justru PT. Antam menggugat warga secara hukum.
Discussion about this post