Oleh: H. Nur Alam, S.E., M. Si
Pada Minggu kedua bulan Juni tahun 2021 saya dikejutkan oleh pemberitaan tentang penggeledahan yang dilakukan oleh Penyidik dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sultra di Kantor Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sultra di Kendari. Penggeledahan itu terkait penyidikan perkara tambang yang dilakukan oleh PT. Toshida di Kabupaten Kolaka. Di sana Penyidik menemukan dokumen dan surat-surat yang ada keterkaitan dengan penyidikan PT. Toshida yang diduga merugikan negara sebesar Rp. 190 miliar.
Tiga hari kemudian, mantan Kadis ESDM dan mantan Kabid Minerba Sultra serta dua orang petinggi PT. Toshida (Dirut dan General Manager PT. Toshida) ditetapkan sebagai tersangka.
Selain kaget, pada saat yang sama ingatan saya terbang pada peristiwa yang menimpa saya beberapa tahun lalu, yang membuat saya harus menghuni Lapas Sukamiskin.
Pokok perkara yang dialamatkan adalah, saya telah melakukan penyalahgunaan kewenangan sebagai Gubernur dalam penerbitan Izin Usaha Tambang. Padahal, bila dianalisa secara mendalam, di dalam aturan Perda, kewenangan teknis dalam menerbitkan IUP ada di tangan Dinas Pertambangan (ESDM).
Tapi yang terjadi, saya menghadapi sangkaan itu sendirian dan dijadikan tersangka tunggal. Saya melihat, yang dilakukan oleh Kejati Sultra kali ini adalah kerja audit investigasi khusus yang tidak main-main.
Penggeledahan yang dilakukan pada Senin, 14 Juni 2021 tersebut dipimpin langsung oleh Asisten Tindak Pidana Khusus Kejati Sultra, Setiyawan Nur Chaliq, dengan Anggota Tim Penyidik sebanyak 9 orang. Melihat semua itu dada saya berdebar oleh harapan baru, bahwa kali ini penanganan perkara perizinan tambang dilakukan melalui prosedur yang sistematis dan benar.
Namun, Kejati Sultra mestinya melakukan pengusutan secara menyeluruh (tidak hanya menggeledah kantor Kepala Dinas ESDM Provinsi, tapi juga melakukan penggeledahan ke Kantor Kepala Dinas Kabupaten). Sebab
dari Kabupatenlah semua kekacauan berawal (semua IUP dikeluarkan oleh Kantor Dinas Kabupaten/Kota). Baru pada tahun 2016-2017 ada perubahan Undang-Undang yang isinya adalah, kewenangan mengeluarkan IUP diserahkan ke Provinsi.
Tapi sebenarnya, di tahun 2016-2017 itu sudah tidak ada lagi lokasi penambangan. Artinya, meski lahir kewenangan baru untuk provinsi, tapi lokasi (tambangnya) sudah habis. Sudah lebih banyak IUP daripada luas wilayah. Kantor Dinas ESDM Provinsi hanya melakukan pekerjaan meregistrasi ulang dan mengeluarkan rekomendasi CnC.
Kasipenkum Kejati Sultra, Doddy, MH menuturkan bahwa sejak tahun 2010 PT. Toshida menambang berdasarkan IUP di Kecamatan Tanggetada, Kabupaten Kolaka. Berarti, pada 2010 itu yang menerbitkan IUP PT. Toshida adalah Kabupaten (bukan Provinsi). Dan, dugaan korupsi yang dilakukan oleh PT. Toshida adalah tidak membayarkan kewajiban kepada negara seperti membayarkan Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Penggunaan Kawasan Hutan atau PNBP-PKH, abai membayar royalti, membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Corporate Social Responsibility (CSR) dan dana program Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM).
Carut Marut IUP
Tahun 2008 (awal saya menjadi Gubernur), jumlah IUP di Sultra sebanyak 275. Namun, saat kewenangan berpindah ke pemerintah provinsi sesuai amanah UU 23 tahun 2014, jumlah IUP yang diserahkan pemerintah Kabupaten/Kota di tahun 2016 telah mencapai 528 IUP. Berarti, jumlah IUP meningkat tajam. Total luas wilayah IUP mencapai hampir 3 kali melebihi luas potensi kawasan yang mengandung deposit nikel di Sultra yakni 457.075 Ha. Selisih antara luas potensi deposit nikel dengan banyaknya IUP yang dikeluarkan tentu menimbulkan berbagai pertanyaan terhadap motif penerbitan IUP yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.
Pada November 2013 saya membuat laporan yang isinya adalah, saya membuka semua persoalan menyangkut pertambangan dari hulu sampai hilir. Dari mulai proses persiapan izin sampai dengan penyimpangan di perpajakan, soal eksploitasi, penyimpangan di angkutan, di pelabuhan, dan lain-lain.
Selanjutnya, saya melakukan upaya untuk mengatasi carut marut penerbitan IUP dan pengelolaan lahan pertambangan. Salah satunya adalah dengan membentuk Tim Terpadu Pengawasan Pertambangan Mineral dan Batubara melalui Surat Keputusan Gubernur No. 661 Tahun 2013. Tujuannya adalah untuk mengetahui kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundangan di bidang pertambangan, kehutanan, lingkungan hidup, ketenagakerjaan, keuangan, dan perhubungan.
Selain itu, juga untuk mengetahui aspek legalitas pemegang IUP, efektivitas pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota terhadap perusahaan pemegang IUP, dan mencegah terjadinya kerugian negara
melalui ketaatan dalam membayar kewajibannya bagi negara.
Tim Terpadu terdiri dari unsur pemerintahan dan penegak hukum yakni Gubernur, Kapolda, Kejati, Komandan Korem, Kepala BIN, jajaran Sekretariat Pemerintah, SKPD terkait, Direktur Reserse dan Kriminal Khusus Polda Sultra, Asisten Tindak Pidana Khusus Kejati Sultra, Pasi Intel Korem, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Kendari, Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai, dan Kepala BPKH Wilayah XXII Kendari.
Hal tersebut sejalan dengan Kebijakan Pemerintah sesuai Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 yang melarang ekspor bahan mentah mulai tanggal 12 Januari 2014, yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 28 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2012.
Berdasarkan temuan Tim Terpadu, ada banyak aktivitas pertambangan yang melakukan pelanggaran dan penyimpangan. Dari 528 IUP yang diterbitkan, 456 IUP berada di Kawasan hutan, dan hanya 34 IUP yang memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).
Kondisi ini berarti sebanyak 422 IUP belum mendapat IPPKH namun tetap melakukan penambangan dan hal itu ternyata dibiarkan saja oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.
Discussion about this post