Lantas ketika salat segera bakal mulai, saya pindah ke shaf pertama, dua sisi kanan di belakang imam. Waktu imam selesai melafalkan, “Walad dholin….” Saya pun menyambut dengan mengeraskan suara menyebut “ammiiiiinnnm…”
Berbelas tahun terus menerus begitu, siapapun imam dan muhazinnya, membuat saya merasa nyaman menempati “kavling” tersebut secara permanen. Lebih dari itu, secara merambat saya juga merasa itulah “kavling” milik saya di masjid ini. Di rumah Allah ini. Mungkin banyak, atau beberapa, jemaah subuh lainnya merasa seperti saya.
Maka ketika ada jemaah lain, menempati “kavling” kita, baik yang sebelum salat subuh maupun menjelang salat subuh, secara tidak sadar dalam hati mulai terganggu. Mulai ada perasaan gak enak. Lho tempat gue kok loe duduki? Kira-kira begitulah. Muncul semacam perasaan tidak suka. Kita tak mau “kavling” kita diduduki orang lain!
“Kavling” itu harus dalam penguasaan kita. Jemaah lain silahkan cari tempat yang berbeda. Toh, masih banyak tempat lainnya. Kita menjadi tak rela tempat kita “take over” orang lain.
Disinilah mulai bersemayam bahaya dalam diri kita. Menempati posisi yang sama saat salat subuh di masjid selama belasan tahun seakan memberikan hak kepada diri pribadi untuk mengklaim tempat di masjid itu menjadi “kavling” milik kita pribadi. Seakan tempat itu privillage kita. Perasaan seperi itu pula yang sempat tanpa saya sadari juga hadir dalam diri saya.
Beruntung itu tak berlangsung lama, dan saya dapat tersadar atas kekhilafan itu. Masjid milik Allah. Rumah Allah. Bukan masjid pribadi kita. Kalau pun ada masjid yang kita bangun secara pribadi, maka ketika telah dibuka untuk umum, masjid telah berubah menjadi masjid publik. Masjid jami. Menjadi rumah Allah.
Semua orang berhak datang ke masjid. Semua orang, memiliki hak untuk salat di masjid itu. Semua orang punya hak sama untuk memilih dan menentukan mereka mau duduk atau salat di bagian manapun sepanjang datang lebih dahulu dan tempat itu masih kosong.
Sebaliknya Kita tidak punya hak untuk mengklaim ada bagian-bagian tertentu dari tempat salat di masjid hanya diperuntukan buat kita, dan orang lain sepatutnya menghormati hak kita. Tak patut kita menuntut jemaah lain agar tidak melanggar “hak kavling” kita.
Semua orang di hadapan Allah sama. Semua diperbolehkan memilih menempatkan diri, dan salat di bagian manapun dia mau dan memungkinkan. Kita sama sekali tidak punya hak untuk mengaturnya. Tentu ada pengecualian, jika ada acara-acara tertentu, bolehlah ditata susunan tempat duduk, tapi bukan yang permanen.
Saya teringat kepada sebuah masjid yang berada masih di seputaran tempat tinggal kami. Beberapa orang bercerita, mereka sempat salat di masjid itu. Namun apa yang terjadi? Para jemaah tetap di masjid tersebut memperlihatkan wajah-wajah tidak bersahabat ketika ada orang lain atau “orang baru“ salat disitu.
Wajah-wajah yang jelas menunjukan mereka tak berkenan ada orang lain salat “di masjid mereka,” selain kalangan mereka sendiri.
Discussion about this post