Oleh: Wina Armada Sukardi
Penumpang Misterius
Bagi hamba, membawa “penumpang misterius,” bukan perkara baru. Sudah terjadi beberapa kali. Misalnya, pernah ketika ibu hamba meninggal dunia, setelah pemakaman, hari waktu itu baru saja selesai magrib, dari rumah di Depok mau pulang ke Jakarta, hamba ini naik mobil bersama istri dan salah satu kakak ipar perempuan. Semua duduk di belakang. Hari sudah mulai gelap.
Sewaktu mobil mau berangkat, seorang ibu setengah baya minta ikut “numpang” mobil kami. Menurutnya, dia rumahnya searah dengan kami. Nanti tiba di jalan tujuan rumahnya, katanya, dia bakal berhenti.
Dia duduk bangku depan di samping sopir. Kami tidak bercakap-cakap sama sekali. Selain mungkin sudah lelah, kami juga bingung ada orang yang tidak dekat dengan kami, berani minta ikut “nebeng” mobil kami. Tapi kalau gak kenal dekat, kok, dia tahu arah pulang kami.
Makanya kami pikir, jangan-jangan dia teman almarhum ibunda kami. Tapi kok selama ini kami tak pernah mengenalnya. Ah, tak tahulah kami.
Dan benar saja. Sesuai pernyataannya, di tengah jalan dia minta, mobil kami stop. Berhenti. Dia lantas turun. Berjalan ke arah belakang.
Kami melihat ke kiri kanan, tidak ada perumahan sama sekali. Di sisi kiri tanah datar tinggi ke atas. Sebelah kanan, agak jauh, memanjang riel kereta api. Depan belakang, jalan beraspal. Dimana rumah Si Ibu? Ketika mencari kemana arah si Ibu pulang, dia sudah menghilang. Jadi, kami tak dapat mengikutinya.
Besoknya kami balik lagi ke Depok lewat jalan yang sama. Kali ini di siang hari. Kami baru menyadari, sebelah kiri atas dari arah Depok menuju Pasar Minggu, tempat Si Ibu kemarin malam turun, bukanlah perumahan, tapi…. kuburan.
Iya, dari sana kami menjadi faham “siapa” wanita itu dan kemana dia “pulang.” Sekarang kuburan yang kami lewati sudah menjadi bagian dari Universitas Indonesia. Meski “misterius,” namun selalu ada jawabannya terhadap para “tamu misterius” itu. Contohnya ya yang dari kuburan itu.
Cuma yang hamba alami ini berbeda. Sampai kiwari hamba tak tahu siapa dia. Hamba tidak pernah mendapat jawaban siapa dia.
Kisah nyata ini bermula dari suatu tengah malam, sudah agak berat ke subuh, hamba pulang dari rumah seorang sejawat di daerah Limo, Cinere. Kalau hamba tak salah setelah deadline, hamba ada perlu ke rumahnya. Terus terang hamba lupa ada keperluan apa kala itu.
Waktu itu hamba pulang sendirian, menyetir sendiri. Mobilnya hamba masih ingat benar, Mitsubishi Galant berwarna silver.
Hamba gak sedikit mengantuk, tapi masih penuh kesadaran. Suasana jalan amat sepi. Semua toko sudah tutup. Tak ada pedagang lagi di pinggir jalan. Hanya satu dua mobil yang melintas.
Di sebuah halte, mata hamba melihat berdiri seorang ibu berkerudung. Buat hamba ini rada aneh. Hari begini ngapain juga ibu-ibu berdiri di halte? Menunggu bis? Rasanya tak ada bis bakalan lewat semalam yang mau menjemput subuh ini. Kalaupun ada angkot pastilah tenggang waktunya menunggu lama.
Muncul rasa ingin tahu sekaligus iba terhadap ibu itu. Reflek hamba mengarahkan mobil kepadanya dan berhenti di depannya. Dia cuma melihat hamba, hampir tanpa ekspresi.
Kaca mobil hamba buka. Masih dari dalam mobil hamba tanya mau kemana malam-malam seperti ini.
“Pengajian,“ jawabnya.
“Pengajian?” tanya hamba, full heran.
Discussion about this post