Beberapa Provinsi yang kepemilikan BPJS Non BPI yang relatif tinggi, seperti Provinsi Kepri capai 49,08%, Kaltim capai 45,69%, Kaltara sebesar 38,62%, Kepulauan Bangka Belitung 33,44%, DKI Jakarta 31,66%, Bali sebesar 31,38%, Sulut sebesar 27,39%, Banten sebesar 27,39%, Kalsel capai 27,37% dan Daerah Istimewa Yogyakarta capai 26,54%. (Kemenkes, 2023).
Kemudian, Jawa Barat, per Agustus 2022 baru 88,83 persen (sekitar 42,53 juta jiwa) dari total penduduk Jawa Barat yang menjadi peserta BPJS. Dari jumlah itu, peserta PBS PBI APBD-nya ada 4,83 juta jiwa, hanya sekitar 11,3 persen dari tota peserta BPJS di Jawa Barat. Lalu, data Provinsi Sulawesi Tengah, sebanyak 2.720.942 jiwa (91,63 %) dari jumlah penduduk telah memiliki jaminan BPJS kesehatan, angka ini diatas rata-rata nasional. (JKN, 2023).
Kemudian, mencermati data Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) tentang data peserta JKN KIS Tahun 2021-2023 berjumlah 2.940.970 jiwa. Data tersebut jika ditambahkan dengan data APBD I sejumlah 147.641 jiwa dan APBD II sejumlah 313.853 jiwa, maka total jumlah kepesertaan Jaminan Kesehatan yang dibayarkan oleh pemerintah sebanyak 3.402.433 jiwa.
Dari data diatas, jika disandingkan basis Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) merupakan basis data kepesertaan PBI JK berjumlah 2.953.740 jiwa, maka jumlah kepesertaan PBI JK telah melampaui jumlah DTKS yang ada. (Pemprov, NTB 2023).
Selain itu, ada tiga provinsi di Indonesia yang cakupannya di bawah 90 persen, diantaranya: Kalbar 84,81%, Jambi 85,92%, dan Sumut 88,63%. Dari 514 Kabupaten/Kota, terdapat 24 Kabupaten/Kota yang cakupannya dibawah 80%, di antaranya Kabupaten Pulau Talibau baru capai 56% dan Halmahera Selatan Malut masih 62%. Begitupun Jawa Timur, masih ada 9 Kabupaten/Kota yang cakupannya masih di bawah 80 persen yakni Jember, Blitar, Tulungagung, Banyuwangi, Ponorogo, Trenggalek, Lumajang, Tuban, dan Pacitan. (BPJS Kesehatan, 2023).
Data diatas dimasing-masing provinsi, menunjukkan tingginya harapan akan BPJS Kesehatan dan tenaga kerja. Namun, pemerintah malah menaikkan iuran BPJS demi mengambil untung dari jumlah kepemilikan BPJS. Sebagaimana Peraturan Presiden No. 64 Tahun 2020, pemerintah berikan subsidi kepada Pekerja Mandiri dan Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) yang menjadi peserta Kelas 3.
Subsidi tersebut sejumlah Rp16.500/orang sehingga peserta kelas 3 tidak mengalami kenaikan iuran, tetap perbulan sejumlah Rp25.500/orang. Jumlah kategori ini tercatat sebanyak 21,6 juta jiwa. Sedangkan peserta BPJS PPU golongan pekerja penerima upah, baik bekerja di perusahaan maupun PNS/TNI/Polri. Untuk pekerja penerima upah, iuran akan ditanggung bersama oleh pekerja dan pemberi kerja.
Perpres 64 Tahun 2020 itu, dasar menaikkan bahwa kenaikan iuran BPJS yang terbaru adalah untuk perbaiki struktur iuran dan tingkatkan kepatuhan pembayaran iuran. Sebagaimana diketahui bahwa telah terjadi defisit dalam pelaksanaan JKN selama ini. Sejak tahun 2014, setiap tahun program JKN selalu mengalami defisit.
Berdasarkan data yang ada, sebelum memperhitungkan intervensi pemerintah baik penyertaan modal negara maupun bantuan APBN, besaran defisit JKN masing-masing Rp1,9 triliun (2014), Rp9,4 triliun (2015), Rp6,7 triliun (2016), Rp13,8 triliun (2017), dan Rp19,4 triliun (2018) dan seterusnya mengalami kenaikan pembayaran iuran. Penyebab utama terjadinya defisit program JKN yang sudah terjadi sejak awal pelaksanaannya adalah besaran iuran yang underpriced (di bawah harga aktual) dan adanya ketidakpatuhan pada peserta mandiri. (Kompas, 2022).
Data membuktikan bahwa banyak peserta mandiri yang tidak disiplin membayar iuran. Pada akhir tahun anggaran 2019, tingkat keaktifan peserta mandiri hanya 55,5 persen. Artinya, 45,5 persen dari peserta mandiri tidak disiplin membayar iuran alias menunggak. Sejak 2016-2019, besar tunggakan peserta mandiri ini mencapai sekitar Rp22,7 triliun.
Sementara itu, tingkat klaim dari peserta mandiri lebih besar daripada iuran yang dibayarkannya. Sepanjang 2018, total iuran dari peserta mandiri (Pekerja Bukan Penerima Upah) adalah Rp8,9 triliun, namun total klaimnya mencapai Rp27,9 triliun. (Kompas, 2023).
Bagi Anies kedepan, rakyat tak boleh lagi membayar BPJS. Negara harus menanggung resikonya untuk kehidupan rakyat. Tentu Anies memiliki hitungannya sendiri berdasarkan pengalaman selama memimpin DKI Jakarta. Sebaliknya, Jokowi selama menjadi presiden tak pernah menurunkan iuran BPJS. Malah menaikkan.
Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Pasangan AMIN) pada pilpres 2024, memberi harapan perubahan, bahwa kesehatan merupakan tanggung jawab konstitusi yang harus dipenuhi pemerintah dan dialokasikan anggaran untuk membiayai program BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan. Tentu rakyat bisa nikmati secara gratis.AMIN.(***)
Penulis: Menulis dari Kantor FOURBES Indonesia sebuah Lembaga Kajian, Riset dan Kebijakan Publik
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post