Oleh: Siti Komariah
Korupsi hingga saat ini masih menjadi problem yang membelit negeri ini, bahkan kasusnya terus menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat, apalagi di dalam area kekuasaan.
Seperti baru-baru ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan Bupati Bogor Ade Yasin sebagai tersangka kasus suap pengurusan laporan keuangan Pemerintah Kabupaten Bogor tahun anggaran 2021.
Bupati Bogor diduga memberi suap kepada Auditor BPK agar laporan keuangan Pemerintah Kabupaten Bogor tahun anggaran 2021 mendapat predikat wajar tanpa pengecualian (WTP). Dalam kasus ini, selain Bupati Bogor, KPK juga menetapkan 8 orang tersangka lainnya (kontan.co.id, 28/4/2022).
Penangkapan Ade Yasin tersebut menurut beberapa pengamat politik semakin menguatkan jika dinasti politik melahirkan politik oligarki dan rawan terhadap praktik-praktik korupsi. Sebab, kekuasaan dibangun berdasarkan lingkaran kekerabatan dan hubungan keluarga dengan penguasa untuk menghemat dana pencalonan. Hal ini akan berdampak pada model pemerintahan yang cenderung serakah.
Peneliti Transparency International Indonesia (TII) Wawan Heru Suyatmiko menilai, penangkapan Ade Yasin mengingatkan tentang korupsi yang berkaitan dengan dinasti politik di Indonesia. Ia menilai, dinasti politik berkorelasi dengan biaya kontestasi politik sehingga mengarah pada tindakan koruptif (tirto.id, 28/4/2022).
Politik dinasti itu sendiri adalah proses mengarahkan regenerasi kekuasaan bagi kepentingan golongan tertentu untuk bertujuan mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan di suatu negara. (Bawaslu.go.id). Dengan kata lain, dinasti politik adalah model kekuasaan yang dijalankan secara turun temurun.
Seyogianya korupsi di dalam demokrasi tidak akan pernah mati, entah itu dari politik dinasti ataupun lainnya, korupsi akan terus tumbuh subur di negeri Pertiwi, walaupun pemerintah telah berupaya untuk mengatasinya, namun kecacatan sistem kapitalis demokrasi nyatanya tidak mampu memberantasnya. Praktik-praktik korupsi senantiasa terjadi, bahkan hampir setiap hari.
Ada beberapa faktor terjadinya korupsi, salah satunya sistem hukum yang tidak menjerakan bagi pelaku korupsi, bahkan hukum dapat dimainkan bagi mereka yang bermodal dan berkuasa.
Masih lekat dalam ingatan kita, di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin di Bandung, Jawa Barat, narapidana koruptor dikabarkan bisa meminta fasilitas dan layanan tambahan, seperti sel penjara yang mewah dan akses ke ponsel. Hal ini juga tidak lepas dari kuatnya kekuasaan para koruptor meskipun mereka sudah terkunci di balik jeruji.
Ditambah lagi mahalnya biaya pencalonan dan sistem demokrasi membuat para penguasa berupaya untuk mengembalikan modal yang mereka keluarkan, sehingga tak jarang mereka melakukan praktik-praktik yang melanggar hukum, seperti halnya korupsi.
Kemudian adanya sistem kapitalisme pun yang berasas pada materi telah membentuk sebagian orang-orang yang berada pada lingkaran kekuasaan hanya menjadikan jabatan mereka sebagai ajang bisnis, guna meraup keuntungan semata. Maka tak jarang jika seringkali mereka mengabaikan norma-norma agama, bahkan mengorbankan rakyatnya dan merugikan negara.
Discussion about this post