Oleh: Fitri Suryani, S. Pd
Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan, ada lebih dari 130.000 transaksi terkait praktik prostitusi dan pornografi anak.
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menjelaskan bahwa berdasarkan hasil analisis, praktik prostitusi dan pornografi tersebut melibatkan lebih dari 24.000 anak berusia 10 tahun hingga 18 tahun.
Menurut Ivan, frekuensi transaksi yang terkait dengan tindak pidana tersebut mencapai 130.000 kali, dengan nilai perputaran uang mencapai Rp 127.371.000.000 (Kompas, 26-07-2024).
Fakta tersebut tentu hanya yang terekspose dan tidak tidak menutup kemungkinan jumlahnya lebih banyak lagi. Banyaknya bisnis prostitusi baik online maupun offline karena ada yang mencari dan membutuhkan, maka jasa penyedianya pun akan ada. Karenanya prostitusi merupakan bisnis yang tak pernah sepi peminat.
Rusaknya generasi saat ini pun tak lepas dari peran orang tua yang merupakan pendidik utama dan pertama dalam lingkungan keluarga. Pola asuh yang orang tua berikan akan berdampak pada kepribadian anak. Karena itu tidak mengherankan jika ada orang tua yang menjual anaknya atau mengetahui anaknya terlibat dalam prostitusi online.
Tentu kita sangat mengapresiasi tindakan pemerintah dalam usahanya menangani permasalahan prostitusi secara online yang keberadaan sangat meresahkan bagi semua kalangan, tidak terkecuali anak-anak yang masih bau kencur.
Sayangnya sistem yang ada tak sejalan dengan harapan untuk menyelesaikan masalah yang ada. Bagaimana tidak, sistem sekuler yang diterapkan membuat orientasi pada kemaksiatan berkembang subur. Karena selama ada permintaan, maka kapitalisme akan memproduksi. Meski itu merusak generasi.
Sebagaimana produksi pornografi termasuk shadow economy. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Ivan Yustiavandana mengungkapkan transaksi video porno dan seksual melibatkan anak di bawah umur di Tanah Air mencapai Rp114,26 miliar (Cnbcindonesia, 29-12-2022). Miris!
Discussion about this post