“Kami yang paham bagaimana di lapangan, harus menghadapi pasien yang sudah sakit parah akibat merokok. Begitu banyak pasien datang dengan penyakit komplikasi kardiovaskular seperti penyakit jantung koroner (PJK) yang disebabkan faktor risiko utama merokok. Ini bukan hanya statistik namun kenyataan di negara kita!,” tegas dr. Radityo.
Senada dengan dr. Radityo, Direktur Eksekutif Ilmiah Perhimpunan Onkologi Indonesia (POI) Prof Ikhwan Rinaldi ikut menambahkan. Kata dia, rokok adalah produk adiktif yang sangat berbahaya. Kelihatannya sepele namun dampak kesehatannya sangat besar. Pasien yang telah divonis kanker pun masih ada yang minta merokok karena dia sudah sangat teradiksi.
Sifat adiktif nikotin dalam rokok, menurut Prof Ikhwan membuat orang yang kecanduan benar-benar mengorbankan diri dan keluarganya, dan tentu akan berakibat lebih luas lagi secara makro pada negara. Beban biaya penyakit kanker misalnya sangat mahal, dan beban biaya kesehatan terus naik.
“Presiden Joko Widodo harus mawas pada warisan yang akan ditinggalkannya, apakah mau masalah kesehatan yang menumpuk di masa depan akibat ketidaktegasannya atau masa depan Indonesia yang lebih baik karena di periode jabatannya dia telah melahirkan aturan yang bagus untuk pengendalian konsumsi produk zat adiktif ini?,” beber Prof Ikhwan.
Konsumsi rokok secara signifikan mempengaruhi sosial masyarakat Indonesia, dengan rumah tangga menghabiskan 11% anggaran bulanan untuk rokok, melampaui belanja makanan pokok. Biaya kesehatan akibat merokok berkisar Rp17,9 hingga Rp27,7 triliun per tahun (CISDI, 2020), yang berkontribusi pada defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS Kesehatan).
Penolakan terhadap regulasi yang ketat untuk pengamanan zat adiktif yang didorong oleh berbagai pihak terutama industri tembakau dan pendukungnya akan melemahkan ketentuan pengendalian konsumsi dan membahayakan kesehatan masyarakat.
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, Dr. Sally Aman Nasution menilai masalah rokok bukan hanya masalah kesehatan, namun masalah kesehatan menyebabkan banyak sekali masalah multisektor.
Olehnya itu, ia meminta agar jangan sepelekan dampak konsumsi rokok ini. Pasalnya mereka telah menjadi saksi langsung bagaimana para penderita penyakit-penyakit mematikan akibat konsumsi rokok mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia.
Presiden Joko Widodo, kata dia, masih punya kesempatan untuk mengambil keputusan tepat. Jangan biarkan Indonesia terus kecanduan produk zat adiktif ini untuk hindari kerugian multisektor mulai dari kesehatan, sosial, pembangunan ekonomi, sampai lingkungan akan terdampak.
“Dan kami, praktisi kesehatan yang pertama kali menyaksikan awal munculnya kerugian-kerugian tersebut. Segera sahkan RPP Kesehatan dengan aturan pengamanan zat adiktif yang tegas dan menyeluruh, lindungi rakyat Indonesia dari produk zat adiktif ini,” tegas Dr. Sally Aman.
Dalam kesempatan yang sama, 14 organisasi profesi kesehatan memberikan pernyataan deklarasi bersama sebagai dukungan kepada Pemerintah Indonesia agar bersikap serius dalam penanganan konsumsi produk zat adiktif tembakau melalui pengamanan zat adiktif dalam RPP Kesehatan.
Berikut ke-14 organisasi tersebut: Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Persatuan Onkologi Indonesia (POI), Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI), Perhimpunan Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Perhimpunan Wicara Esofagus, Ikatan Terapi Wicara.
Kemudian, Yayasan Kanker Indonesia YKI, Yayasan Stroke Indonesia (YASTROKI), Institute of Mental Health Addiction and Neuroscience (IMAN), Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI), dan Yayasan Jantung Indonesia (YJI), serta termasuk organisasi profesi kesehatan induk Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Editor: Ridho Achmed
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post