Mewakili PDPI, dr. Annisa Dian Harlivasari mengatakan, maraknya rokok elektronik dan vape dengan berbagai rasa yang menarik anak-anak ini sangat berbahaya. Berbagai penelitian telah membuktikan bahayanya rokok elektronik dan vape, namun Indonesia belum punya aturan pengendaliannya.
dr. Annisa menyebut, zat kimia berbahaya pada rokok elektronik berada pada cairan/liquid yang mengandung nikotin, propilen glikol dan gliserin. Hasil penelitian RS Persahabatan, kata dia, pada urin perokok elektronik terdapat kadar residu nikotin yang kadarnya sama dengan urin perokok konvensional.
“Dengan demikian, rokok elektronik tidak aman. Selain itu, berbagai residu rokok elektronik dalam bentuk logam dan partikel memiliki risiko jangka panjang terhadap kesehatan. Temuan pada pasien-pasien kami adalah bukti yang tak terbantah bahwa produk adiktif ini harus dikendalikan segera atau kita akan menerima double burden desease; pengendalian rokok biasa longgar, ditambah tidak adanya pengendalian rokok elektronik dan vape,” jelas dr. Annisa.
Sementara itu, Global Adult Tobacco Survey (2021) menyebutkan, perokok dewasa Indonesia naik 8,8 juta perokok dalam satu dekade terakhir dan perokok rokok elektronik naik 10 kali lipat. Pengendalian konsumsi rokok baik rokok konvensional maupun rokok elektronik menjadi sangat mendesak dan tanpa tawar menawar.
Selaku praktisi kesehatan, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI), dr. Radityo Prakoso mengharapkan kali ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Kesehatan bersikap tegas. Menurutnya, aturan pengamanan zat adiktif yang komprehensif di dalam RPP Kesehatan sangat penting.
“Kami yang paham bagaimana di lapangan, harus menghadapi pasien yang sudah sakit parah akibat merokok. Begitu banyak pasien datang dengan penyakit komplikasi kardiovaskular seperti penyakit jantung koroner (PJK) yang disebabkan faktor risiko utama merokok. Ini bukan hanya statistik namun kenyataan di negara kita!,” tegas dr. Radityo.
Senada dengan dr. Radityo, Direktur Eksekutif Ilmiah Perhimpunan Onkologi Indonesia (POI) Prof Ikhwan Rinaldi ikut menambahkan. Kata dia, rokok adalah produk adiktif yang sangat berbahaya. Kelihatannya sepele namun dampak kesehatannya sangat besar. Pasien yang telah divonis kanker pun masih ada yang minta merokok karena dia sudah sangat teradiksi.
Sifat adiktif nikotin dalam rokok, menurut Prof Ikhwan membuat orang yang kecanduan benar-benar mengorbankan diri dan keluarganya, dan tentu akan berakibat lebih luas lagi secara makro pada negara. Beban biaya penyakit kanker misalnya sangat mahal, dan beban biaya kesehatan terus naik.
“Presiden Joko Widodo harus mawas pada warisan yang akan ditinggalkannya, apakah mau masalah kesehatan yang menumpuk di masa depan akibat ketidaktegasannya atau masa depan Indonesia yang lebih baik karena di periode jabatannya dia telah melahirkan aturan yang bagus untuk pengendalian konsumsi produk zat adiktif ini?,” beber Prof Ikhwan.
Konsumsi rokok secara signifikan mempengaruhi sosial masyarakat Indonesia, dengan rumah tangga menghabiskan 11% anggaran bulanan untuk rokok, melampaui belanja makanan pokok. Biaya kesehatan akibat merokok berkisar Rp17,9 hingga Rp27,7 triliun per tahun (CISDI, 2020), yang berkontribusi pada defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS Kesehatan).
Penolakan terhadap regulasi yang ketat untuk pengamanan zat adiktif yang didorong oleh berbagai pihak terutama industri tembakau dan pendukungnya akan melemahkan ketentuan pengendalian konsumsi dan membahayakan kesehatan masyarakat.
Discussion about this post