Oleh: Raihan Khairi
Di tengah arus deras transformasi digital global, pendidikan Indonesia tidak lagi bisa berjalan di tempat. Dunia telah berubah, dan tuntutan terhadap kompetensi abad ke-21 semakin nyata. Hari ini, kemampuan literasi digital, pemrograman (coding), serta pemahaman terhadap kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah menjadi kebutuhan mendasar.
Anak-anak Indonesia bukan hanya dituntut untuk cakap membaca, menulis, dan berhitung, tetapi juga dituntut untuk menguasai bahasa teknologi—bahasa masa depan.
Sebagai respon strategis, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) menginisiasi langkah berani: memperkenalkan coding dan AI sebagai mata pelajaran pilihan mulai jenjang SD hingga SMA pada tahun ajaran 2025–2026. Ini bukan sekadar inovasi kurikulum, tetapi manifestasi dari visi besar membangun generasi emas digital yang kompetitif secara global.
Seperti ditegaskan Mendikdasmen Abdul Mu’ti dalam pernyataannya saat membuka Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT) akhir 2024, “Banyak negara maju sudah memulai pengajaran teknologi tinggi seperti coding dan AI sejak dini. Kami juga berencana untuk memperkenalkan pembelajaran ini mulai dari sekolah dasar, agar anak-anak Indonesia siap menghadapi tantangan zaman.”
Kegiatan DKT yang digelar pada 29 November hingga 7 Desember 2024 menjadi tonggak penting. Di sana, hadir Wakil Menteri Fajar Riza Ul Haq, Wamen Atip Latipulhayat, Staf Khusus Muhammad Muchlas Rowi, serta jajaran Ditjen PAUD Dikdasmen, kepala sekolah, guru, dan komunitas teknologi pendidikan.
Agenda utamanya adalah merumuskan strategi pembelajaran coding dan AI yang tidak eksklusif, tetapi inklusif. Dengan tiga pendekatan model—Internet-based, Plugged, dan Unplugged—Kemendikdasmen memastikan tidak ada siswa yang tertinggal, meski dari pelosok.
Sebagaimana diungkapkan Wamen Fajar Riza Ul Haq, “Dengan integrasi ini, siswa Indonesia diharapkan dapat bersaing di kancah global dan berkontribusi pada daya saing bangsa.” Ia menekankan, meski bersifat pilihan, pelajaran coding dan AI diarahkan pada kesiapan infrastruktur dan kompetensi sekolah yang telah disiapkan secara bertahap.
Bersinergi Melalui Evaluasi dan Kolaborasi
Transformasi pendidikan digital tidak cukup hanya dengan materi baru. Sistem evaluasi pun harus berubah. Kemendikdasmen memperkuat Tes Kemampuan Akademik (TKA) sebagai metode evaluasi formatif dan diagnostik yang berorientasi pada proses belajar, bukan sekadar hasil akhir.
Data dari Kemendikbudristek (2023) menunjukkan bahwa 67% guru yang mengikuti program percontohan menilai TKA lebih efektif dalam memetakan kebutuhan siswa dibanding ujian konvensional.
Temuan ini sejalan dengan penelitian Gomez et al. (2022) yang mencatat bahwa evaluasi adaptif mampu meningkatkan penguasaan konsep hingga 18%. Zhang & Liu (2021) juga melaporkan bahwa 73% guru yang menggunakan TKA merasa lebih mampu merancang pembelajaran personal. Dengan kata lain, TKA adalah jembatan antara kebutuhan siswa dan strategi pembelajaran yang tepat sasaran.
Dalam konteks digitalisasi, kolaborasi lintas sektor menjadi keniscayaan. Tantangan akses teknologi masih membentang luas. Data BPS (2023) menyebutkan hanya 38,5% sekolah dasar di Indonesia yang memiliki akses internet stabil. Oleh sebab itu, sinergi antara pemerintah pusat, daerah, dunia usaha, dan masyarakat sipil sangat dibutuhkan.
Staf Khusus Menteri, Muhammad Muchlas Rowi, dalam sambutannya di DKT menyatakan, “Diskusi ini tidak hanya ajang berbagi, tetapi menjadi upaya konkrit merumuskan opsi pembelajaran yang relevan dan dapat diterapkan di berbagai jenjang dan kondisi.”
Discussion about this post