Oleh: Rusdianto Samawa
Regulasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melegalkan kepentingan oligarki. Tak mungkin, nelayan tradisional, koperasi perikanan, industri pengolahan sekuat modal investasi besar.
Kebijakan KKP yang melelang kuota tangkap bagian dari kepentingan besar penguasa dan oligarki laut yang melibatkan asing secara penuh. Undang-Undang (UU) Omnibuslaw yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi itu mestinya menjadi pegangan dasar KKP dalam pertimbangkan eksploitasi sumber daya Ikan (SDI).
Pemerintah tidak memiliki nilai optimisme dalam menegakkan kedaulatan perairan laut Indonesia. Bicara keberlanjutan, tetapi mekanisme menjaga keberlanjutan itu, justru merusak. Logika kerusakan yang akan terjadi 20 tahun mendatang yakni habisnya sumber daya ikan, kekosongan gagasan kedaulatan maritim, dan berpotensi laut Indonesia habis dijarah oleh penjajahan kolonialisme laut.
Dalam regulasi penangkapan ikan terukur, terkesan kampanye dipaksakan dalam diksi menjaga kelestarian sumber daya ikan yang merupakan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar -besarnya untuk kemakmuran rakyat. Padahal dibalik pertimbangan dalam regulasi tersebut, sesungguhnya terdapat kepentingan besar dalam mengeruk kekayaan laut Indonesia.
Pesan politik kebijakan supaya terkesan mengelola laut secara baik dan benar, maka disebutkan pengelolaan perikanan harus berorientasi pada kelestarian sumber daya ikan dan lingkungan agar memberikan kesempatan berusaha, meningkatkan keadilan, kesejahteraan nelayan dan pihak-pihak yang terkait dengan kegiatan perikanan.
Menjaga kelestarian sumber daya ikan dan lingkungan, tidak harus eksploitasi secara berlebihan.
Sistem lelang kuota seharusnya diperuntukan bagi nelayan-nelayan kecil dan menengah sembari diberikan modal dan jaminan kinerja produktivitas kapal dengan fasilitasi infrastruktur modernisasi alat tangkap sehingga peningkatan kesejahteraan nelayan dirasakan oleh nelayan kecil dan menengah Indonesia.
Kalau kebijakan lelang kuota tangkap pada amanat Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sifatnya melindungi, melestarikan dan memelihara sumber daya ikan. Tanpa harus di eksploitasi sistem kuota sehingga tidak terjadi over fishing kedepan.
Namun, regulasi kebijakan ini, mendasarkan pertimbangan pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sementara UU Cipta Kerja sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi untuk diperbaiki dalam jangka waktu dua tahun kedepan.
Kebijakan berbasis kuota merupakan jejak-jejak liberalisasi wilayah laut. Terbuka dan bebasnya laut Indonesia untuk dieksploitasi adalah agenda yang sudah lama dinantikan. Alasan paling baik agar agenda liberalisasi berjalan yakni penangkapan ikan terukur.
Bahkan, penerapan pemungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pasca produksi dianggap langkah reformasi yang dilakukan KKP. Hal ini, sangat bahaya.
Siapa yang menjamin kapal asing itu tangkap ikan sesuai kuota?. Lalu, siapa yang bertanggungjawab perbaiki tata kelola perikanan nasional yang sedemikian rusak?.
Mereka selalu bermental bela diri atas kebijakan yang salah arah dengan ucapan-ucapan pemberi harapan.
Kata-katanya merasuk: “ini kebijakan lebih baik dan berkelanjutan menuju ekonomi biru,”. Melalui mekanisme PNBP pasca bayar, pasca produksi dan sistem kuota cara kerja mental menjajah diri sendiri.
Discussion about this post