Oleh: Sutrisno Pangaribuan
Barangkali memori kolektif bangsa ini perlu disegarkan kembali atas tuntutan reformasi. Momentum perubahan besar Indonesia yang baru saja merayakan ulang tahun ke-25. Meski para elit aktivis yang didaulat sebagai “aktor reformasi” kini sedang asyik menikmati remah-remah kekuasaan. Baik sebagai komisaris, komisioner lembaga negara, staf khusus pada kementerian dan lembaga.
Terdapat hal ikhwal kegentingan yang memaksa untuk mengingatkan bangsa ini atas tuntutan reformasi yang terdiri dari enam tuntutan, yakni: pertama, penegakan supremasi hukum; kedua, pemberantasan KKN; ketiga, pengadilan mantan presiden Soeharto dan kroninya; keempat, amandemen UUD’45; kelima, pencabutan dwifungsi ABRI (TNI/Polri), dan; keenam, pemberian otonomi daerah seluas-luasnya.
Arogansi kewenangan dalam sengketa penegakan hukum pemberantasan korupsi baru saja dipertontonkan lewat aksi Danpuspom TNI bersama sejumlah perwira menggeruduk KPK. Sebelum “perintah koordinasi” dari Panglima Tertinggi Presiden Joko Widodo, Danpuspom justru menyatakan penersangkaan KPK terhadap, kepala Basarnas, dan ajudannya yang merupakan prajurit aktif TNI tidak sah.
KPK dituduh melampaui kewenangan karena melakukan proses hukum umum terhadap prajurit TNI. Meski tindak pidana korupsi ditetapkan sebagai “extraordinary crime” dimana KPK dilahirkan untuk tugas pemberantasan korupsi, Danpuspom TNI tetap “keukeh” KPK salah. Sehingga walau akhirnya Danpuspom bersama ketua KPK menetapkan dan mengumumkan status keduanya sebagai tersangka, publik sudah terlanjur marah dan kehilangan kepercayaan atas kesungguhan Danpuspom dan KPK untuk pemberantasan korupsi.
Mengingkari Tuntutan Reformasi
Discussion about this post